Menjelang batas akhir pendaftaran pasangan calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum Daerah yang jatuh pada 29 Agustus 2024, publik dikejutkan dengan kehadiran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas (threshold) pencalonan tersebut. Dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diputus pada 20 Agustus 2024, MK menyatakan norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengatur syarat ambang batas pencalonan kepala daerah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Implikasi putusan MK 60/2024 mengubah syarat pencalonan kepala daerah dari semula mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki sekurang-kurangnya 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% suara sah dalam Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPRD di daerah tersebut, menjadi persentase perolehan suara sah tergantung pada jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada masing-masing daerah tersebut.
Sebagai contoh, implementasi putusan MK 60/2024 di Provinsi Daerah Khusus Jakarta dengan DPT sebanyak 8.252.897 dengan total suara sah 6.067.241 pada Pemilu 2024 lalu, partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu hanya perlu memiliki suara sah paling sedikit 7,5% atau 455.043 untuk mengusung pasangan calon kepala daerahnya. Tentu publik mengapresiasi putusan MK 60/2024 yang memberikan sinyal positif bagi demokrasi lokal dengan mempermudah setiap partai politik untuk berkontestasi di Pilkada 2024 ini.
Sayangnya, apresiasi tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus gugatan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Berbeda nasib dengan gugatan terkait ambang batas pencalonan kepala daerah (regional head threshold), gugatan presidential threshold yang sempat menjadi isu hangat pada 2022 lalu, selalu kandas terganjal kedudukan hukum (legal standing) atau kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Meskipun secara isu konstitusionalitas serupa dan angka ambang batas keduanya sama yakni 20% untuk jumlah kursi dewan atau 25% untuk jumlah suara sah Pemilu, namun mengapa MK memilih mengabulkan gugatan regional head threshold, tetapi selalu menolak gugatan presidential threshold?
Gugatan yang Selalu Kandas
Setidaknya tercatat sebanyak 30 gugatan judicial review diajukan untuk menguji konstitusionalitas presidential threshold ke MK yang diajukan oleh berbagai elemen masyarakat. Dari perorangan, partai peserta Pemilu, partai non-parlemen, lembaga negara, hingga warga diaspora Indonesia. Dari keseluruhan gugatan, 21 di antaranya diajukan terhadap norma Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu. Sedangkan 9 gugatan lainnya diajukan terhadap norma Pasal 9 UU 42/2008.
Tetapi, hampir seluruh gugatan yang telah diajukan tersebut selalu kandas terganjal legal standing. Pun jika berhasil melalui ujian tersebut, masih ada ujian lainnya, yakni ne bis in idem karena banyaknya gugatan yang telah diajukan sebelumnya mengakibatkan banyak dalil-dalil yang telah disampaikan.
Setelah melalui kedua ujian tersebut, nyatanya masih ada satu ujian terakhir untuk menggagalkan gugatan, yakni open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Dalam beberapa putusan terkait, MK selalu bersikukuh menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU pemilu merupakan open legal policy dari Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 dan menjadi kewenangan DPR untuk menindaklanjutinya.
Terakhir, MK yang menolak gugatan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB) melalui putusan Nomor 52/PUU-XX/2022 tanggal 7 Juli 2022. Dalam putusan tersebut, MK menilai DPD tidak memiliki legal standing karena tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemohon, yakni hanya partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang dapat menguji presidential threshold tersebut.
Berbanding terbalik, legal standing PBB justru diterima oleh MK. Bahkan, MK menyatakan gugatan tersebut tidak ne bis in idem atau memiliki pasal pengujian dan alasan-alasan permohonan yang berbeda dengan permohonan yang telah diputuskan sebelumnya. Namun, tanpa melalui proses pemeriksaan persidangan, MK menolak gugatan PBB tersebut karena tidak beralasan menurut hukum.
Keliru Membedakan
Dalam putusan Nomor 26/PUU-VII/2009, 7/PUU-XI/2013, dan 30-74/PUU-XII/2014, MK telah merumuskan batasan terkait open legal policy. Pada intinya, hal tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak dilakukan secara sewenang-wenang atau di luar kewenangan, tidak melanggar moralitas, rasionalitas, ketidakadilan yang intolerable, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Jika mencermati dengan seksama, threshold dalam pencalonan presiden dan wakil presiden telah diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang membatasi hanya pasangan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang dapat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Sedangkan, threshold sesungguhnya atau ambang batas keterpilihan diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden terpilih yang dapat dilantik adalah mereka yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Dengan demikian, MK telah keliru membedakan antara threshold dalam pencalonan dengan threshold dalam keterpilihan dan justru mencampuradukkannya. Memang benar dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, konstitusi memberikan mandat open legal policy, namun hanya ditujukan untuk tata cara pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, bukan untuk syarat pencalonan. Akibatnya, MK telah melanggar seluruh batasan open legal policy yang dirumuskan olehnya sendiri.
Dikabulkan dengan Mudah
Berbeda nasib dengan presidential threshold, gugatan regional head threshold justru dikabulkan dengan “mudah” oleh MK. Dalam pertimbangan hukumnya, MK hanya menyinggung open legal policy satu kali, yakni pada halaman 66 untuk menegaskan sikapnya terhadap pengujian norma “angka”, khususnya terkait tata cara pemilihan kepala daerah sebagai kebijakan hukum terbuka, kecuali norma tersebut bertentangan dengan rasionalitas, moralitas, dan ketidakadilan yang intorelable.
MK sendiri mengakui norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 merupakan desain pengaturan ambang batas (threshold) dalam pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik, sebagaimana dipertimbangkan pada halaman 67-68. Norma tersebut diatur lebih lanjut melalui dua alternatif yang ditawarkan; pertama, dalam Pasal 40 ayat (2) untuk mekanisme pencalonan dengan minimal perolehan 20% jumlah kursi di DPRD; atau kedua, dalam Pasal 40 ayat (3) dengan minimal 25% akumulasi suara sah dalam Pemilu DPRD.
MK kemudian menilai pengaturan threshold tersebut jelas membatasi pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta Pemilu yang telah memperoleh suara sah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD akibat syarat threshold yang mengharuskan pencalonan dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di DPRD.
Atas dasar tersebut, dan membandingkannya dengan syarat presentase pencalonan kepala daerah jalur perseorangan, MK menganggap pembiaran terhadapnya merupakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta Pemilu karena tidak dapat mengusung calon kepala daerahnya sendiri.
Pada akhirnya, MK memutuskan mengabulkan gugatan sebagian dan merekonstruksi norma “angka” dalam Pasal 40 ayat (1) tersebut dengan membaginya ke dalam beberapa kriteria berdasarkan jumlah DPT di masing-masing daerah dan persentase yang merujuk pada jumlah DPT tersebut, sebagaimana telah dicontohkan di atas. Ini berbanding terbalik dengan perlakuan MK terhadap gugatan presidential threshold yang dengan “kaku” mempertahankan prinsip open legal policy tanpa mempertimbangkan constitutional rights partai politik peserta Pemilu yang hilang akibat tidak bisa memenuhi threshold untuk mencalonkan calon presiden dan wakil presidennya.
Harapan Besar Masyarakat
Mendasarkan pada putusan MK 60/2024, tidak keliru untuk berpandangan bahwa jika MK dapat mengubah norma “angka” dalam threshold pencalonan kepala daerah demi menjaga constitutional rights partai politik peserta Pemilu untuk dapat mengusung calon-calon kepala daerahnya, maka dapat juga melakukan hal yang sama terhadap norma “angka” dalam threshold pencalonan presiden dan wakil presiden.
Tindakan MK tersebut jelas merupakan upaya mencari jalan keluar atas permasalahan konstitusional pencalonan kandidat dalam pemilihan di tingkat daerah. Secara fundamental, MK memiliki wewenang untuk berperan aktif menggali nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat dalam merumuskan putusan, yang dikenal dengan istilah judicial activism, sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bukti dari judicial activism yang dilakukan oleh MK, selain memutus kabul sebagian permohonan regional head threshold ini untuk membuka selebar-lebarnya pintu demokrasi di tingkat daerah, juga memutuskan perkara ini menjelang batas waktu penutupan pendaftaran calon kepala daerah.
Dalam konteks perbandingan hukum, hal tersebut tentu bertentangan dengan doktrin Purcell Principle dalam kasus Purcell v. Gonzalez (2006) di Mahkamah Agung Amerika. Doktrin ini pada prinsipnya meminta pengadilan menahan diri untuk tidak mengubah peraturan pemilihan umum terlalu dengan dengan waktu pemilu itu sendiri demi lancarnya Pemilu dan mencegah kebingungan, terkecuali terdapat kondisi khusus yang dapat menggerus prinsip keadilan.
Kondisi khusus yang dimaksud pernah terjadi, di mana MK ketika memutus dengan cepat tanpa melalui tahapan persidangan perkara Nomor 102/PUU-VIII/2009 terkait judicial review UU 42/2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Saat itu, MK menilai adanya urgensi apabila tidak segera diputuskan, maka banyak pemilih yang akan kehilangan hak pilihnya, sehingga mengizinkan untuk menggunakan KTP atau paspor yang masih berlaku sebagai syarat untuk memilih.
Terlepas dari prinsip open legal policy, harapan besar masyarakat setelah putusan MK 60/2024 ini adalah MK dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai the guardian of the constitution. Sikap progresif negarawan MK sangat dinanti khalayak publik untuk berani mengambil tindakan yang menjunjung tinggi keadilan sosial, meskipun harus bersinggungan dengan norma hukum yang ada.
Berdasarkan catatan di atas, besar harapan ke depannya MK dapat semakin berani dalam mengambil keputusan yang mengedepankan aspek sosial, tanpa terpaku ketentuan normatif, sehingga putusan-putusan yang dihasilkan membawa dampak positif bagi pembangunan demokrasi dan memberikan keadilan sosial bagi masyarakat, selayaknya putusan 60/2024 ini.