Usulan Prioritas Kebijakan Fiskal 2025


Jakarta

Siang tadi kita sudah mendengar Pidato Presiden Joko Widodo yang menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2025 kepada DPR RI. Pemerintah mengusulkan asumsi ekonomi makro; target pertumbuhan ekonomi 5,2%, inflasi 2,5%, suku bunga SBN 10 tahun 7,1%, nilai tukar Rupiah Rp 16.100 /US$, harga minyak mentah Indonesia 82 US$/barel, lifting minyak bumi 6000 ribu barel/hari, dan lifting gas 1.005 ribu barel setara minyak/hari.

Pada pembahasan dengan Banggar DPR nanti, saya berharap pemerintah setuju target pertumbuhan tahun depan minimal 5,4%. Sebab itu angka moderat, dan menjadi modal kita tahap setahap mengembalikan angka pertumbuhan tinggi seperti masa lalu, kita pernah tumbuh 6-7%, seperti yang diharapkan Presiden (terpilih) Prabowo Subianto. Namun sejak krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi kita tertahan di 5%an hingga kini.

Kita perkirakan, The Fed akan menurunkan suku bunga, sehingga nilai tukar (kurs) rupiah bisa kita patok lebih rendah. Saya berharap bauran kebijakan pembayaran valas juga bisa lebih beragam, sehingga ketergantungan terhadap US$ bisa kita kurangi. Dengan demikian kurs bisa lebih rendah di level Rp. 15.900- 16.000/ US$. Demikian halnya dengan suku bunga SBN bisa kita dorong lebih rendah, sebab kita sudah menghadapi beban bunga utang yang semakin tinggi, dan tertinggi di ASEAN. Idealnya suku bunga SBN bisa di level 6,7%.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sisi kebijakan fiskal, ke depan hendaknya pemerintah lebih fokus pada program program yang lebih urgen di tengah kondisi fiskal yang terbatas. Beberapa agenda kebijakan strategis yang perlu ditopang oleh kebijakan fiskal tahun depan, seperti;

1. Program Kemandirian Pangan

Sejak 2014 sampai 2023 jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,95 juta ton beras. Kalau kita hitung, 2019-2023 nilai impor beras nasional mencapai US$ 1,95 miliar. Impor gula juga tidak kalah fantastis. Tahun lalu saja impor gula mencapai 5,07 juta ton dengan nilai US$ 2,88 miliar. Komoditas lainnya seperti kedelai, susu, jagung, daging sapi, sayuran, buah semuanya impor.

Pada tahun 2023 lalu, ekspor hasil pertanian kita US$ 6,5 miliar, sedangkan nilai impornya mencapai US$ 11,59 miliar, sehingga defisit impor hasil pertanian mencapai US$ 5,0 miliar.

Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum. Program teknologi pangan harus mendorong tumbuhnya industrial farming, optimalisasi lahan tidak produktif, serta meningkatkan hasil laut sebagai kekayaan pangan masa depan yang lebih sehat.

2. Program Kemandirian Energi

Dalam rentang 2015-2023 impor minyak mentah kita mencapai US$ 69,3 miliar, sementara ekspor kita hanya US$ 30,1 miliar, sehingga ada defisit US$ 39,2 miliar. Demikian juga dengan nilai impor hasil minyak mencapai US$ 165,2 miliar, sedangkan nilai ekspor hanya US$ 17,9 miliar yang berakibat defisit sangat dalam US$ 147,3 miliar.

Sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG kita terus meningkat. Dalam rentang 2015-2023, kebutuhan impor LPG kita mencapai 51,4 juta ton, dilain pihak setiap tahun kita bisa ekspor gas alam dengan nilai yang cukup fantastis. Periode 2015-2023 nilai ekspor gas alam kita mencapai US$ 70,2 miliar.

Dalam jangka pendek, transformasi energi kita yang bersandar ke minyak bumi termasuk LPG harus di geser ke listrik, sebab kita memiliki produksi listrik yang besar, dan ditopang oleh suplai batubara yang memadai. Namun kebijakan energi tidak boleh terhenti di listrik, sebab transformasi pembangkit listrik PLN tidak boleh hanya bertumpu pada PLTU.

Oleh sebab itu, bauran kebijakan energi baru dan terbarukan kedepan harus lebih progresif. Pada tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9%, di tahun 2022 bauran energi terbarukan mencapai 12,3%, meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi. Idealnya proporsi bauran energi baru dan terbarukan lima tahun kedepan minimal mencapai 30%.

3. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)

Tenaga kerja kita yang bekerja saat ini berjumlah 142,1 juta, ironisnya 54,6% diantaranya lulusan SMP ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja kita terserap di sektor informal. Dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi.

Indeks Pembangunan manusia kita masih peringkat 6 ASEAN, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Balita, sebagai generasi masa depan kita masih mengalami prevalensi stunting sebanyak 21%. Afirmasi untuk memperbaiki kualitas SDM sebagai daya saing utama harusnya jadi perhatian utama kedepan. Setidaknya kedepan indeks pembangunan manusia kita bisa melampaui Vietnam,Thailand, dan Malaysia.

4. Infrastruktur

Kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program diatas. Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatory, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang.

Said Abdullah, Ketua Banggar DPR RI

(akd/akd)

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *