Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat khawatir demokrasi semu di Pilgub Jakarta karena dia menduga bakal ada skenario calon independen (indie) yang ‘disiapkan’ untuk menjadi lawan cagub tertentu. Partai Demokrat (PD) menilai Djarot sedang berpikir berdasarkan pengalamannya.
“Pernyataan yang disampaikan Pak Djarot menunjukkan pemahaman yang distorsif terhadap demokrasi. Bahkan bisa dikategorikan sebagai pemikiran yang insinuatif dan tendensius,” kata Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, kepada wartawan, Jumat (16/8/2024).
Berdasarkan KBBI V, ‘distortif’ artinya bersifat memutarbalikkan fakta, ‘insinuatif’ berarti bersifat menyindir atau menuduh secara tidak langsung, dan ‘tendensius’ artinya bersifat sepihak.
“Sekali pun Pak Djarot menyampaikan tidak ingin menyepelekan calon independen. Namun kenyataannya, pernyataannya cenderung menyepelekan calon independen yang secara tidak langsung diasumsikan sebagai calon boneka, sekedar untuk menghindari berhadapan dengan kotak kosong. Mungkin Pak Djarot berfikir sesuai dengan pengalamannya,” imbuhnya.
Kamhar menyebut Koalisi Indonesia Maju (KIM) tidak pernah menyiapkan skenario kotak kosong. Apalagi, kata dia, menyiapkan calon boneka.
“KIM sejak awal tak ada mempersiapkan skenario kotak kosong apalagi calon boneka. Jika kemudian dalam perjalanannya berkembang menjadi KIM Plus, ini semata-mata sebagai hasil interaksi rasional komunikasi lintas partai yang bertemu pada kepentingan yang sama, ingin meraih sukses di Pilgub Jakarta yang merupakan etalase utama panggung politik nasional,” sebut dia.
Menurut Kamhar, tidak benar jika ada yang beranggapan ada partai yang merasa ditinggalkan dalam pilkada Jakarta. Kamhar menilai hal itu adalah konsekuensi dalam politik.
“Jadi kurang pas jika kemudian ada partai yang merasa ditinggalkan atau kandidat yang merasa dijegal. Ini semua hanya konsekuensi logis dari dinamika politik di panggung utama politik nasional yang tentunya akan banyak dipengaruhi kepentingan strategis masing-masing partai,” sebut dia.
“Jika ada partai yang tidak bisa mengajukan calon atau membangun koalisi, ini persoalan biasa saja. Sebuah konsekuensi logis ketika partai tersebut tidak memegang golden ticket untuk mengajukan paslon sendiri atau gagal dalam membangun komunikasi dan kerjasama politik,” sebut dia.
Kamhar lantas menyinggung soal kandidat yang merasa dijegal. Menurutnya, yang bersangkutan tak bisa berlayar pada Pilkada Jakarta karena tak ada dukungan dari partai politik.
“Demikian pula jika ada Paslon yang tak bisa berlayar kemudian merasa dijegal, ini kurang pas. Karena untuk menjadi kontestan, dukungan parpol bukan satu-satunya jalan. Ada opsi lain melalui mekanisme jalur perseorangan,” tutur dia.