Judul: Jalan Pulang: Seni Mengelola Takdir; Penulis: Komaruddin Hidayat; Penerbit: Buku Kompas (2024); Tebal: xxvi + 206 halaman
Kaum pecinta kebijaksanaan selalu berpesan bahwa sejatinya hidup ini bukanlah tentang takdir semata, namun lebih tentang bagaimana kita menyikapi takdir itu sendiri. Bahkan terdapat sebait doa yang amat populer yang sepertinya menjadi renungan banyak orang ketika berhadapan dengan apa yang tidak bisa diubah (takdir).
Sebaris doa tersebut berasal dari Reinhold Niebuhr, seorang profesor bidang teologi dari Union Seminary di New York, yang sangat esensial untuk terus meraih ketenangan dalam menjalani banyak takdir dalam kehidupan. Ya Tuhan, berikan saya ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, dan kebijaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya.
Takdir dan Permainan Hidup
Buku ini merupakan autobiografi dari Profesor Komaruddin Hidayat, yang menggambarkan perjalanan spiritualnya dalam memahami, menyikapi, merespons, serta mengelola takdir atas dirinya dalam kehidupan. Sebelum menjadi “seseorang” seperti sekarang ini, Prof. Komar telah menjalani dan merangkul banyak takdir dalam kehidupannya, terutama pada awal fase kehidupan yang terasa berat serta banyak ujian.
Ketika menjelaskan perihal takdir, dia dengan piawai membeberkan maknanya dengan analogi yang sederhana, namun mudah dipahami dan sangat mengena. Kata takdir, yang banyak ditemukan dalam Al-Quran, jika direnungkan makna dan konteksnya, takdir merupakan kekuasaan dan ketentuan Tuhan atas berbagai peristiwa alam dan kehidupan sosial yang berlangsung berdasarkan hukum sebab-akibat, yang disebut sunatullah (hal. 3)
Setiap peristiwa terjadi berdasarkan hukum sebab-akibat (if-then). Namun, kita sering tidak menyadari atau tidak mampu melihat hubungan antara sebab dan akibatnya. Jarak waktu antara sebab dan akibat bisa sangat pendek sehingga mudah diamati, tetapi ada juga yang panjang atau sangat panjang sehingga sulit untuk kita pahami. Bahkan, ada keyakinan bahwa beberapa akibat baru akan terlihat setelah kematian.
Sebagai contoh dari jarak waktu yang pendek, jika kita mengambil jarum dan menusukkannya ke kulit, maka kulit akan langsung terasa sakit dan mungkin berdarah. Sedangkan contoh yang jarak waktunya agak panjang adalah mereka yang rajin belajar dan berolahraga di masa muda akan menjadi pintar dan sehat saat dewasa.
Bagi mereka yang percaya pada konsep reinkarnasi atau kelahiran kembali, nasib yang dialami seseorang saat ini sebagian besar merupakan hasil dari kehidupan sebelumnya. Penderitaan yang dialami sekarang harus diterima sebagai bentuk penebusan utang moral dari masa lalu. Prinsip keadilan Tuhan terwujud melalui proses reinkarnasi ini. Hanya setelah utang dosa-dosa tersebut terbayar lunas, jiwa akan menjadi bersih dan seseorang bisa kembali kepada Tuhan yang Mahasuci.
Panggung kehidupan ini layaknya papan catur yang di atasnya sudah ada ketentuan (takdir) yang mengikat gerak langkah aktor-aktornya. Kita tidak bisa mengubah dan melawan hukum Tuhan yang berlaku di alam semesta. Inilah makna takdir yang berikutnya, setelah sunatullah, yaitu yang disebut qadharullah atau qadratullah, ketentuan Tuhan yang berwujud intervensi dan mutlak prerogatif Tuhan.
Namun, tugas manusia adalah selalu memedomani sunatullah, karena rumusnya paten, merupakan hukum sebab akibat. Misalnya, seseorang yang terbakar api, secara sunatullah pasti akan merasakan panas luar biasa. Namun jika ada intervensi atau perintah Tuhan, maka api terasa dingin, contohnya api yang membakar Nabi Ibrahim, sehingga beliau selamat ketika dilempar ke dalam api yang berkobar oleh Raja Namrud. Menggunakan masker saat pandemi untuk menghindari paparan virus adalah sunatullah, namun tetap terinfeksi virus dan menderita sakit Covid-19 adalah qadratullah.
Manusia sebagai aktor memiliki kebebasan untuk memilih langkah, sehingga di akhir permainan akan ada pihak yang menang dan kalah. Permainan hidup ini memunculkan golongan yang menang dan kalah, ada yang beruntung dan ada yang merugi. Dalam kitab suci, di akhirat nanti, pemenang dijanjikan surga, sementara yang kalah akan bertemu neraka, meskipun hakikat surga dan neraka masih di luar jangkauan nalar.
Dengan kata lain, takdir adalah aturan permainan, sementara manusia sebagai aktor harus pandai meraih kemenangan sesuai dengan hukum Tuhan, baik sunatullah maupun qadratullah. Akal, kehendak, dan kebebasan adalah modal berharga yang diberikan Tuhan agar manusia dapat memenangkan permainan hidup ini.
Tuhan mengutus Rasul-Nya sebagai pelatih dan penunjuk jalan agar kita terhindar dari kekalahan dan kesesatan. Ibarat dalam dunia pendidikan, peran Tuhan adalah seperti guru yang mengajar dan menginginkan murid-muridnya pintar dan lulus ujian dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
Namun, tetap saja ada sekelompok murid yang gagal naik kelas. Beruntungnya, Tuhan selalu membuka pintu kasih dan ampunan-Nya. Doktrin agama yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok mahapemaaf sekaligus suka menghukum menimbulkan keseimbangan hidup manusia. Hal ini diharapkan mendorong manusia agar terus berusaha berjalan di atas jalan yang benar, namun juga tidak berputus asa jika telanjur berbuat salah dan dosa (hal. 6).
Karakter dan Takdir Manusia
Komaruddin Hidayat remaja, ketika masih menjadi santri di Magelang, sempat berpikir bahwa untuk berkuliah atau sekadar mengenakan jaket mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah merupakan sebuah kemustahilan, tepatnya untuk bermimpi saja tidak berani. Waktu itu dia hanya mampu sebatas mengagumi para mahasiswanya, karena secara ekonomi terasa tidak mungkin bisa menjadi mahasiswa di sana. Demikian juga ketika menyebut nama Universitas Indonesia (UI), dia mengibaratkan universitas tersebut bak fatamorgana ketika masih di pesantren.
Kedua universitas tersebut memang sengaja dia tonjolkan karena secara psikologis memiliki makna tersendiri dalam perjalanan hidupnya (hal. 82). Namun, Prof. Komar memiliki karakter-karakter yang amat unggul sejak masih remaja. Pekerja keras, pembelajar yang cepat dan cerdas, ulet, dan pantang menyerah dalam meraih mimpi-mimpinya. Heraclitus (Herakleitos), seorang filsuf Yunani, mengatakan, “Karakter seseorang adalah takdirnya.” Tidak heran jika sekarang ini dia memperoleh “maqam” atau level, pangkat, derajat, status sosial, serta kapasitas intelektual yang mumpuni dalam hidupnya. Semuanya berkat ketekunan serta keikhlasannya dalam mengikuti dan juga menerima seluruh aturan permainan-Nya.
Di ujung tulisan dalam buku ini, Prof. Komar menganalogikan pengertian “pulang” dengan peristiwa pulang dalam kehidupan sehari-hari, yang mestinya disikapi dengan antusias dan gembira. Pulang kampung, pulang haji, dan seterusnya. Demikian juga dengan peristiwa pulang menuju Tuhan di kampung akhirat, bersanding di sisi Sang Mahakasih, seharusnya hal itu menjadi saat yang ditunggu-tunggu. Terutama jika kita telah dan selalu berikhtiar dan bersabar dengan karakter dan laku kebaikan dan kesalehan ketika hidup di dunia.