Hampir saban tahun informasi mengenai kegagalan perencanaan daerah mengemuka; banyaknya bangunan terbengkalai menjadi indikasi adanya persoalan dalam mengelola harta negara. Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI) Nasruddin Bahar,mengatakan, banyak bangunan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbengkalai di Aceh. Menurutnya, hal itu terjadi karena kegagalan dari perencanaan, (AJNN, 21 April 2024).
Nuansa motivasi proyek sangat kentara, onggokan bangunan megah tak berpenghuni menjadi bukti buruknya tata kelola pemerintahan. Sangat mungkin menghabiskan uang rakyat triliunan rupiah dengan manfaat yang tak jelas. Konon proyek asal jadi itu terjadi di banyak daerah, bangunan tak bertuan akhirnya menjadi sarang uka-uka. Besarnya uang terparkir pada bangunan tak berpenghuni sangatlah berarti bila digunakan tepat sasaran, memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Rencana Berbasis Data
Penempatan anggaran pada bangunan terbengkalai bukan hanya bersumber dari APBN/Dana Alokasi Khusus, tapi juga Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tertuang dalam APBD. Besarnya pagu anggaran yang dialokasikan tampak sangat besar, seolah perencanaan terjadi secara serampangan.
Memang terkadang perencanaan daerah tidak memiliki data dukung valid, sehingga hasil pembangunan kurang tepat bagi kebutuhan masyarakat. Kondisi ini tentu saja menjadi opini buruk bagi kinerja kepala daerah yang menjabat, dianggap kurang peduli dalam mengelola perencanaan anggaran daerah. Tudingan tak serius terhadap pola kerja perencanaan sangatlah wajar, karena banyaknya hasil pembangunan miskin manfaat, sekadar menghabiskan pagu anggaran. Pemborosan semakin besar bila ditambah dengan usulan pelatihan-pelatihan dan rapat-rapat yang berdampak rendah bagi instansi dan masyarakat.
Problem bangunan terbengkalai telah menjadi pemandangan umum di setiap daerah, bangunan kantor hingga pasar rakyat tampak kasat mata tanpa aktivitas, menjadi beban tambahan bagi pemerintahan berikutnya. Kondisi tata kelola perencanaan pembangunan yang buruk diyakini terus berlanjut bila data base perencanaan diabaikan. Pimpinan instansi bertanggung jawab untuk menyediakan data base usulan kegiatan sebagai syarat minimal pembahasan anggaran. Tim Anggaran Daerah (TAPD) wajib membatalkan pembahasan secara tegas bila kelengkapan data dukung tidak dipenuhi, sekaligus sebagai bahan evaluasi kinerja pejabat dalam melaksanakan tugas yang dibebankan.
Begitulah pentingnya penanganan perencanaan secara serius, karena inilah langkah awal dimulainya pembangunan daerah secara benar. Kebenaran pembangunan daerah sulit terwujud bila pembahasan anggaran yang diusulkan tidak dikawal dengan ketat. Pengawal perencanaan memiliki peran strategis untuk mengarahkan berbagai usulan sesuai dengan arah pembangunan yang telah ditetapkan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 menyatakan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) adalah perangkat daerah yang melaksanakan tugas dan mengoordinasikan penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Bappeda bertugas menampung seluruh usulan untuk selanjutnya disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Tentunya tugas pengawal perencanaan ini tidaklah mudah karena harus memahami semua usulan yang tak terbatas dari masyarakat, instansi, politis dan pemangku kepentingan yang dibahas sesuai dengan fakta-fakta lapangan. Menyesuaikan dengan pagu anggaran yang terbatas, sehingga usulan yang benar-benar mendesak dan dibutuhkan menjadi prioritas penganggaran. Mengarahkan sesuai dengan tujuan pembangunan daerah untuk peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, lapangan berusaha serta meningkatkan akses kualitas layanan publik dan daya saing.
Seringkali usulan politis dan pemangku kepentingan tak berdaya untuk dibahas, padahal tak jarang menimbulkan masalah. Tekanan politik membuat dilema bagi kenyamanan aparatur dalam bekerja, gaya klasik ancaman geser jabatan menjadi taruhannya. Pengawal perencanaan dituntut argumentatif, mengedepankan kebenaran, mampu memberikan pemahaman masuk akal dengan gambaran konsekuensi yang bakal terjadi ke depannya. Penyampaian alternatif-alternatif usulan mungkin saja bisa menjadi pertimbangan agar usulan berpotensi masalah teralihkan.
Umumnya pendekatan dalam melaksanakan penyusunan perencanaan dilakukan secara teknokratik melalui metode dan kerangka berpikir ilmiah, partisipatif yang melibatkan berbagai komponen masyarakat dan juga politis. Semua dibenarkan oleh ketentuan, namun prioritas daerahlah yang harus dikedepankan. Berat memang, salah satu cara mewujudkan kebenaran perencanaan adalah ketersediaan data sebagai hakim dalam melakukan seleksi program kegiatan. Pimpinan instansi harus menjamin ketersediaan data dan diupdate secara berkala sehingga usulan asal bunyi dan boros anggaran dapat dihindari.
Pengalokasian anggaran yang tidak tepat bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah. Bangunan-bangunan terbengkalai akhirnya menjadi PR tambahan bagi pejabat baru. Padahal pemetaan dan pencegahan masalah dapat dilakukan sejak dini dengan melakukan optimalisasi peran instansi perencana daerah.
Beberapa persoalan yang mesti diatasi untuk mewujudkan perencanaan sesuai kebutuhan daerah; pertama, penguatan peran penting Bappeda dalam menyediakan data primer sebagai alat bantu melakukan pembahasan usulan dinas. Kedua, peningkatan peran pemerintah daerah (eksekutif-DPR) melakukan pengendalian, evaluasi, dan pengawasan pelaksanaan pembangunan.
Ketiga, mengupayakan adanya rujukan satu data sebagai informasi daerah yang dikelola oleh Bidang Data dan Informasi. Keempat, konsistennya kepala daerah dalam melaksanakan indikator pembangunan yang telah tersedia dalam dokumen RPJMD/RPK, sehingga tahapan pencapaian kemajuan pembangunan daerah terlihat jelas. Tentu saja data base bukan menjadi alat satu-satunya bagi ketepatan perencanaan daerah, diperlukan konsistensi agar salah arah pembangunan tidak terulang. Dokumen RPJMD/RPK menjadi pedoman penting bagi pimpinan instansi dan pejabatnya dalam menyusun perencanaan tahunan.
Konsistensi Stakeholder
Kepala daerah dan pimpinan instansi di daerah sebagai pengambil kebijakan berperan sangat penting dalam menangani potensi gagalnya pembangunan dengan mengacu pada rencana pembangunan daerah berbasis data, prioritas pembangunan, dan ketentuan yang berlaku. Ketersediaan data perencanaan saja belum cukup untuk mewujudkan pembangunan yang benar-benar sehat, tanpa dukungan pengambil kebijakan yang juga sehat.
Sevalid apapun data yang dimiliki, tanpa dukungan kepala daerah maka hasil perencanaan tidak mungkin optimal. Konsisten dalam melaksanakan apa yang telah dirumuskan dalam dokumen perencanaan daerah yang merupakan panduan mengurangi terjadinya kegagalan.
Konsistensi dalam proses di Bappeda, menempatkan pengawal perencanaan dari beragam disiplin pendidikan dan pengalaman untuk menangani berbagai usulan yang juga beragam. Tanpa dukungan kompetensi, sangat sulit melaksanakan tugas sebagai pelaku koordinasi dan konsultasi. Seringkali peran konsultasi tidak berjalan disebabkan kompetensi personil yang mengawal perencanaan bukan bidang tugas yang dikuasainya. Akibatnya, usulan program kegiatan sekedar numpang lewat, ujungnya menjadi tugas BPKD untuk melakukan rasionalisasi atau perbaikan.
Peran koordinasi dan konsultasi tidak mungkin berjalan optimal tanpa adanya dukungan personil dan dukungan anggaran. Jumlah personil harus memadai dalam menangani beban pekerjaan, termasuk pertimbangan kesehatan fisiknya karena harus siap untuk pekerjaan mendesak. Kegiatan rapat-rapat dan evaluasi pembangunan menjadi tugas pokok pembahasan, maka dukungan anggaran monitoring dan evaluasi pembangunan, makanan dan minuman rapat serta peralatan kerja yang representatif sangat diperlukan.
Konsistensi berikutnya adalah dukungan TAPD yang kuat, berfungsi melakukan persetujuan atas usulan program kegiatan dengan terlebih dahulu dilakukan pembahasan oleh bidang koordinasi di BAPPEDA. Mengarahkan laporan dan penjelasan oleh masing-masing bidang koordinasi yang juga merangkap TAPD kepada Kepala Daerah secara berkala atas setiap usulan program kegiatan dari instansi-instansi serta dampak potensial terjadi ke depannya. Sebenarnya TAPD merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kegagalan perencanaan di daerah.
Pihak yang tidak kalah berperan dalam mengontrol ketepatan perencanaan daerah adalah DPR, legislatif memiliki peralatan untuk membahas detail anggaran daerah melalui Badan Anggaran. Komisi-Komisi bisa lebih aktif berkoordinasi dengan instansi di daerah untuk menyiapkan berbagai kebutuhan data dan dirapatkan secara terbuka terhadap usulan yang disampaikan, termasuk usulan-usulan pokirnya. Lebih penting, bersedia membonsai kepentingan pribadi dan golongan terhadap usulan program kegiatannya yang unfaedah demi kemanfaatan perencanaan daerah yang terarah.