Dilema Rekonsiliasi Politik


Jakarta

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan dari pasangan calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berakhir dengan kemenangan sah bagi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Tuduhan yang dilayangkan oleh para pemohon tersebut tidak terbukti dalam proses pembuktian di MK. Tetapi, hal baru terukir dalam sengketa hasil pemilihan umum kali ini.

Berdasarkan catatan sejarah Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK baru kali ini terdapat ketidaksamaan pendapat dari para hakim. Terdapatnya dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim MK menjadi sebuah catatan tersendiri dalam iklim demokrasi Indonesia ke depan.

Terlepas dari semua kontroversi dan dinamika dalam Pemilu 2024, berdasarkan kepada putusan MK, semua perselisihan harus segera diakhiri, mengingat sifat dari keputusan MK adalah final dan mengikat. Fenomena menarik yang dapat disaksikan langsung ketika putusan ini keluar adalah manuver para elite politik dan partai politik. Prabowo dan Gibran sebagai calon presiden dan calon wakil presiden terpilih langsung merespons putusan ini dengan safari politik.

Adapun Prabowo dengan gencar merangkul pihak yang berseberangan dengannya dalam Pemilu 2024 kemarin. Sebagai presiden terpilih Prabowo mengajak seluruh pihak untuk bersatu kembali setelah pemilu. Prabowo juga mengajak para elite politik untuk dapat bersatu dan meninggalkan semua perbedaan yang terjadi selama Pemilu 2024. Alasannya untuk kepentingan bangsa dan negara ke depan. Setidaknya sebelum dilantik pada Oktober mendatang terdapat sisa waktu enam bulan bagi Prabowo untuk merangkul berbagai pihak untuk masuk dalam koalisi pemerintahannya.

Memuluskan Agenda Kebijakan

Fenomena rekonsiliasi politik pasca penetapan pasangan calon presiden-wakil presiden sudah lazim dalam perpolitikan Indonesia. Pasangan terpilih tentunya menginginkan harmonisasi dalam pemerintahannya ke depan. Baik itu dalam kabinet sendiri maupun dalam lembaga legislatif (DPR) nantinya. Hal ini dimaksudkan untuk memuluskan agenda kebijakan yang akan diimplementasikan. Sehingga tidak menimbulkan hambatan dan rintangan yang berarti.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak butuh waktu lama, Muhaimin Iskandar dan elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menerima Prabowo di kantor DPP PKB. Muhaimin dan PKB menyatakan dukungan terhadap Prabowo. sebelumnya, pasca penetapan putusan MK, Surya Paloh dan elite Partai Nasdem lain juga menyatakan dukungan yang sama. Beredar kabar Prabowo juga tengah menjalin komunikasi dengan pihak Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, yang masih menjadi kendala bagi Prabowo adalah menemui Megawati Soekarnoputri dan elite PDIP. Hal ini disebabkan luka yang masih membekas dari Megawati dan PDIP terkait manuver politik Presiden Joko Widodo dan Gibran.

Sehubungan dengan itu, melihat kondisi perpolitikan di Tanah Air yang terkenal dengan sifat pragmatis dan dinamis, partai politik dan elitenya dengan mudah bermanuver dan berganting posisi. Apalagi posisi tersebut berhubungan dengan koalisi pemerintahan. Sifat dinamis dan pragmatis ini di satu sisi baik dalam aspek rekonsiliasi politik. Namun, di sisi lain fenomena rekonsiliasi politik hanya sebagai momentum seremonial dari elite politik saja, mengingat perbedaan tujuan dan visi misi antarpartai politik di Indonesia tidak bergitu tajam dan menonjol. Sehingga proses rekonsiliasi politik hanya didasarkan kepada faktor kepentingan dan kekuasaan semata.

Sebelumnya Prabowo dan Gibran berkomitmen untuk melanjutkan progam-progam dari Presiden Jokowi. Mengambil tema melanjutkan ini berimplikasi kepada model dan bentuk kebijakan ke depan yang tidak berbeda jauh dengan program Jokowi. Tentunya langkah yang sama akan dilakukan oleh Prabowo. Berkaca kepada pemerintahan Presiden Jokowi yang identik dengan sifat merangkul lawan politiknya. Apalagi sejak periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi yang berhasil mengkonsolidasikan seluruh kekuatan politik yang ada di legislatif (DPR). Tujuannya tidak lain untuk memperkuat legitimasi dan mencegah terjadinya hambatan dari pihak oposisi dalam pemerintahan. Hasilnya adalah minimnya kelompok oposisi pada periode kedua Jokowi.

Langkah ini tengah disiapkan oleh Prabowo dalam enam bulan ke depan. Mencoba berbagai upaya untuk berekonsiliasi dengan partai politik rivalnya pada Pemilu 2024. Prabowo tentunya menginginkan efektivitas dan harmonisasi dalam pemerintahannya ke depan. Sehingga program-program unggulan yang tengah dirancang Prabowo tidak menemukan hambatan yang berarti ketika berurusan dengan legislatif (DPR). Tetapi, belajar dari fenomena kedua Presiden Jokowi ketika dalam sebuah pemerintahan sangat minim kelompok oposisi, maka akan berakibat buruk kepada demokrasi. Lahirnya produk undang-undang seperti Cipta kerja, KUHP, dan sebagainya itu adalah residu buruk dari minimnya kelompok oposisi.

Pragmatisme Antarpartai

Fenomena di atas adalah salah satu contoh dari dilema dalam rekonsiliasi politik. Rekonsiliasi politik dalam artian positif tentunya sangat berdampak baik dalam harmonisasi bangsa dan negara ke depan. Menghindari perpecahan dan disintegrasi bangsa dalam satu pihak. Tetapi di pihak lain rekonsiliasi politik juga berdampak kepada pragmatisme antarpartai politik. Jika dilihat dari pengalaman sejarah yang menonjol adalah rekonsiliasi politik hanya bersifat pragmatis dan keuntungan bagi elite politik. Tujuan utama dari dilakukannya rekonsiliasi politik adalah konsolidasi politik bagi semua elemen.

Konsolidasi politik dapat terwujud ketika seluruh elemen bangsa dapat bersatu dalam perbedaan yang ada. Niat dan tujuan Prabowo-Gibran untuk melakukan rekonsiliasi politik sangat baik jika mengutamakan kepentingan bangsa ke depan. Artinya, dalam hal ini bahwa makna rekonsiliasi politik tidak selalu mengajak seluruh partai politik yang ada bergabung ke dalam pemerintahan. Keberadaan partai politik yang berada di luar pemerintahan juga sangat dibutuhkan dalam iklim demokrasi ke depan. Sehingga fungsi check and balance dapat terselenggara dengan baik.

Fungsi kontrol tetap dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah koreksi yang baik dalam perubahan. Perbaikan di dalam demokrasi Indonesia ke depan bukan hanya perihal prosedural saja, melainkan keberadaan dari demokrasi substansial juga sangat urgent bagi Indonesia ke depannya. Namun, itu semua sangat membutuhkan sikap yang legawa dari seluruh elite politik dan elemen bangsa. Dibutuhkan kemauan politik yang penuh dengan kesadaran bersama.

Gennta Rahmad Putra mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas

(mmu/mmu)

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *