Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan pelibatan perempuan dalam proses pembangunan merupakan urgensi untuk menyikapi ragam krisis dan ketidakpastian dunia menuju kesejahteraan bersama. Menurutnya, perempuan yang sehat berpotensi melahirkan perempuan yang berdaya dan mampu membangun keluarga yang sehat.
“Bila keluarga di Indonesia sehat tentu saja peluang untuk mewujudkan negara yang berdaya semakin besar,” Ungkap Lestari, dalam keterangannya, Kamis (7/3/2024).
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara kunci pada Diskusi Publik dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret. Bertajuk ‘Membangun Kepemimpinan Perempuan di Sektor Kesehatan’, kegiatan ini diselenggarakan Pusat Kajian Jaminan Sosial Sekolah Kajian Stratejik dan Global di Jakarta.
Menurut Rerie, sapaan akrabnya, mengandalkan perempuan sebagai pemimpin pada dasarnya mampu memberi kebaruan dalam mekanisme kepemimpinan berbagai bidang kehidupan dan peran signifikan lainnya.
Ia juga menambahkan, kepemimpinan perempuan harus diupayakan melalui gerak bersama yang dimulai dari komitmen memberdayakan, menyudahi diskriminasi, memastikan tiadanya kekerasan dan menguatkan perlindungan khususnya bagi perempuan. Pelibatan perempuan dalam kepemimpinan, sejatinya bukan merupakan hal baru dalam perkembangan peradaban Indonesia.
Rerie menyebutkan menurut catatan Sejarah Nusantara, perempuan berperan penting dalam menjaga keterhubungan antar kesultanan karena keutamaan moral dan intelektual yang dimiliki. Bahkan, Aceh di masa lalu terdapat 21 sultana yang memimpin kesultanan di Negeri Serambi Mekah itu. Berbeda dengan catatan sejarah dalam konteks lokal, kepemimpinan perempuan selama ini luput dari pemahaman masyarakat.
Kepemimpinan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, tegas Rerie, mesti berpijak pada prinsip altruistik yakni kepemimpinan yang berpusat pada kesejahteraan dan mengedepankan pelayanan untuk semua.
Diakuinya, tantangan perempuan untuk berkarir sebagai profesional sangat besar karena melawan stigma bahwa perempuan memiliki kewajiban domestik yang harus dilakukan. Pelibatan dan kehadiran perempuan pada setiap tingkatan kepemimpinan harus dipandang sebagai subyek bukan lagi ditempatkan pada seperangkat atribusi sosial yang melanggengkan ketimpangan.
Lebih dari itu, Rerie juga menyampaikan dunia yang terus bergerak maju membutuhkan model kepemimpinan yang berbela-rasa (compassionate leadership). Model kepemimpinan ini ditandai dengan kemauan hadir bersama masyarakat, terlebih mereka yang terpinggirkan dan kehilangan harapan.
Rerie menyebutkan perempuan dapat diandalkan untuk mengimplementasikan paradigma kepemimpinan yang berbela-rasa itu.