Derita Warga Sipil Akibat Perang Saudara di Myanmar

Di siang hari di bulan Oktober saat itu terasa sangat terik. Yay Chan hanya dapat memandang desanya dari bukit tempat dia berdiri di wilayah Sagaing di barat Myanmar. Di depannya terdapat lahan pertanian subur di Kotapraja Kale. Lahan itu tampak hijau berpendar setelah diguyur hujan, membentang hingga ke sisa reruntuhan desa Yae Shin, tempat Yay Chan berasal.

Ketika angkatan bersenjata Myanmar pertama menyerang Yae Shin, tempat berlangsungnya protes setelah kudeta militer pada Februari 2021, Yay Chan bergabung dengan pasukan pertahanan lokal untuk menahan serangan tersebut dengan menggunakan senapan berburu.

Kekuatan perlawanan di desa tersebut hanya berjumlah sekitar 100 orang. Ketika militer kembali berkuasa pada tahun berikutnya, mereka pun tidak bisa berkutik.

“Awalnya kami hanya protes. Dan ketika militer menyerbu wilayah kami, kami bertahan melawan mereka. Setelah bentrokan ketiga, seluruh desa kami dibakar oleh tentara junta,” kata Yay Chan.

Sagaing, ‘sarang’ perlawanan terhadap kekuasaan militer

Pria berusia 37 tahun ini kini menjadi administrator di kamp pengungsi internal (IDP). Di sini hidup sekitar 1.800 orang, sebagian besar berasal dari desa Yae Shin yang telah hancur. Mereka sepenuhnya bergantung pada sumbangan. Hanya ada sedikit pekerjaan dan hampir tidak ada fasilitas medis. Sebagian dari mereka beruntung karena sempat menukar sebagian besar lahan pertanian produktif milik keluarga dengan pertanian subsisten di lahan kecil.

Gunung berhutan di dekatnya menjadi tempat perlindungan terakhir, tempat penduduk siap mengungsi saat mendengar suara pertama pesawat atau artileri.

“Kadang mereka (militer) menculik orang-orang dari desa lain dan menggunakan mereka sebagai tameng manusia untuk bergerak maju. Jet mereka juga mengebom desa kami. Keluarga-keluarga terpisah dan melarikan diri,” kata Yay Chan.

Militer telah menghancurkan sekitar 75.000 rumah sejak mengambil alih kekuasaan, menurut kelompok pemantau Data for Myanmar. Lebih dari dua pertiga wilayah yang dikuasai berada di daerah Sagaing.

Sejak kudeta, media sering menyebut wilayah mayoritas etnis Bamar ini sebagai “sarang” perlawanan terhadap kekuasaan militer. Memang, salah satu pertempuran pertama terjadi di daerah ini.

Sejak itu, lembah tersebut telah dikuasai oleh pasukan anti-junta dan militer serta milisinya.

Penyintas junta berjuang lawan sakit fisik dan emosional

Mg Si, 39, adalah salah satu dari mereka yang selamat. Dia dan empat temannya mengangkat senjata melawan militer segera setelah kudeta. Tak lama kemudian dia terluka akibat ranjau darat. Pecahan peluru masuk ke punggungnya, melumpuhkannya dari pinggang ke bawah.

“Saya tidak menyangka ini akan membuat saya lumpuh. Saya hanya mengobati luka ini dengan bantuan rekan-rekan sambil berpikir bahwa saya akan kembali berdiri dan bertarung,” kata Mg Si.

Dia tidak punya uang untuk pergi berobat ke dokter spesialis di India. Rumah sakit-rumah sakit besar di wilayah ini telah hancur atau berada di bawah kendali militer.

Karena tidak bisa ikut bergelirya, ia menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya.

“Karena kami terjebak di sini saat ini, saya harus tetap di sini. Saya tidak tahu kapan ini akan berakhir. Sekarang, istri saya harus mengurus kebutuhan saya,” katanya.

Mg Si mengatakan bagian terburuk dari cederanya bukanlah fisik, melainkan rasa malu yang dia rasakan karena membebani keluarga.

Mereka tidak lagi mempunyai penghasilan karena ia tidak bisa bekerja. Dia mengompol dan istri serta putrinya harus merawatnya. Putrinya tidak bisa bersekolah karena dia. Dia bilang dia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Hanya ada sedikit sumber daya yang bisa mencapai kamp ini. Saat menceritakan kisahnya, dia menatap kosong ke kejauhan.

Pendidikan anak jadi tantangan besar

Jika putrinya bisa bersekolah, dia akan berada di beberapa kelas satu ruangan yang terletak di antara pepohonan lebat di sini. Para relawan mengatakan kelas-kelas tersebut dibatasi ukurannya dan disebar untuk menghindari deteksi militer. Setiap pertemuan besar, bahkan ruang kelas, dapat menjadi target.

Di salah satu kelas, Khin Sabal Phyo, mengajar sekitar belasan siswa sekolah dasar. Saat kudeta terjadi, ia tengah menempuh studi ilmu sejarah di sebuah universitas di kota Kale. Perempuan berusia 23 tahun ini meninggalkan studinya sebagai bentuk protes.

Dia mengatakan tidak ingin dapat ijazah saat rezim militer berkuasa. Dia tidak sendirian. Tahun ini, jumlah siswa yang mengikuti ujian penempatan nasional di universitas hanya seperlima dari jumlah siswa yang mengikuti ujian penempatan nasional di masa pemerintahan sipil.

Sekarang dia menjadi sukarelawan, mencoba mengajar kelas anak-anak tanpa pengalaman sebagai guru atau perlengkapan yang memadai. Dia mengatakan militer membakar habis sekolah di desa tersebut, termasuk juga buku-buku pelajaran yang berharga.

Pemerintah Persatuan Nasional yang bersifat sipil telah mengumpulkan dana untuk pendidikan di luar jangkauan militer, seperti ruang kelas tempatnya mengajar. Namun dukungan tersebut sangatlah terbatas.

Guru lain bernama Rosie sedang memimpin kelas siswa sekolah menengah saat DW datang. Sebelum perang, Rosie juga sudah bekerja sebagai guru. Namun dia bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), yakni gerakan pemogokan massal pegawai pemerintah setelah kudeta. Diperkirakan jumlah guru CDM seperti Rosie mencapai lebih dari 130.000 orang.

Siswa di sini beruntung, jelas Rosie. Banyak pula yang tidak dapat hadir karena harus bekerja untuk membantu kelangsungan hidup keluarganya. Yang lain bergabung dengan kelompok perlawanan dan kehilangan nyawa. Bank Dunia menyatakan hanya sekitar 56% penduduk Myanmar yang berusia 6-22 tahun yang terdaftar di sekolah.

Rosie mengatakan mereka harus terus menentang pemerintah militer sebisa mungkin, bahkan jika itu berarti mereka harus menyelenggarakan pendidikan dasar seadanya. Mereka sudah kehilangan banyak hal dan tidak ada lagi jalan untuk kembali, kata Rosie.

Penghuni kamp hidup dalam kekhawatiran

Yay Chan, administrator kamp pengungsian, mengatakan saat ini mereka tidak punya senjata untuk mempertahankan diri dari serangan darat yang dilakukan oleh militer atau milisi pro-junta yang tidak jauh dari daerah tinggal mereka. Selain itu, warga khawatir masuknya penyusup. Kamp ini jarang menerima orang yang bukan berasal dari desa Yae Shin.

“Rakyat kami telah menderita selama bertahun-tahun demi revolusi. Kami butuh makanan, obat-obatan, jas hujan, dan kelambu. Saya ingin meminta ini dari (Pemerintah Persatuan Nasional) agar kami dapat lebih bertahan lebih lama lagi,” kata Yay Chan.

Namun tampaknya situasi dalam perang sipil di Myanmar mulai berbalik. Kelompok penentang junta di seluruh negeri baru-baru ini memperoleh kemajuan, termasuk di Sagaing.

Setelah hampir tiga tahun, mereka yang berada di kamp ini mengatakan bahwa mereka siap meraih kemenangan. Meskipun mereka tidak dapat membayangkan bagaimana cara untuk membangun kehidupan setelahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *