Eksistensi Tenun Sumba, Jadi Alat Barter hingga Dipakai Capres & Cawapres

Keeksotisan Pulau Sumba tidak hanya sebatas jajaran bukti serta hamparan pantai dan savana yang manjakan mata saja. Pulau yang terbagi menjadi 2 wilayah Sumba Timur dan Barat ini juga memiliki warisan budaya yang tidak kalah eksotis.

Ada banyak warisan budaya yang bisa ditemui di Sumba, salah satunya kain tenun. Kain tenun sendiri bisa dikatakan sebagai ikon Pulau Sumba. Bahkan, kain tenun khas Sumba pernah hadir di sejumlah momen penting negeri ini.

Terbaru, kain tenun khas Sumba turut meramaikan momen bersejarah pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada 19 Oktober 2023 lalu. Ketiga pasangan yang mendaftar capres dan cawapres dikalungkan oleh Komisi Pemilihan Umum syal dari tenun Sumba.

Eksistensi kain Sumba tidak hanya tampil di kancah nasional saja. Kain tenun juga kerap ‘unjuk gigi’ di sejumlah pameran fesyen bergengsi dunia.

Meskipun kain tenun Sumba telah melanglang buana, kain tenun Sumba memiliki kisah sejarah yang cukup panjang hingga masih bisa tetap eksis di masa sekarang. Kain ini memiliki makna sejarah ini juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya yang harus dilindungi.

Seorang perajin kain tenun Sumba sekaligus tokoh masyarakat Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, Mama Renot membenarkan bahwa kain tenun Sumba memiliki cerita sejarah yang cukup panjang. Hal itu dilihat dari pakaian tradisional Sumba yang menggunakan kain tenun.

Tak hanya sebatas itu saja, dia bercerita sebelum dikenalnya mata uang, kain tenun Sumba turut dimanfaatkan sebagai alat untuk barter. Sebab pada masa itu, setiap orang Sumba harus memiliki kain tenun.

“Begitu juga (kain tenun) sebagai alat barter. Setiap rumah harus punya kain Sumba untuk dipakai saat adat. Mereka yang nggak bisa membuat tetap harus punya. (Sebagai contoh) Masnya punya hewan, saya punya kain. Jadi nanti Masnya datang minta tukar, seperti barter. Itu yang terjadi zaman dahulu,” kata Mama Renot.

Dia menjelaskan barternya pun biasanya dengan sejumlah hewan ternak seperti kuda, sapi, hingga kerbau. Untuk usia dan ukuran hewan ternak tidak spesifik dijelaskan oleh Mama Renot. Menurutnya, asalkan si pemilik kain tenun dengan pemilik ternak sepakat barter maka mereka tidak akan mempermasalahkan usia hewan ternaknya.

“Kalau barter itu harus dua lembar kain karena berpakaian adat Sumba harus dua lembar. Satu untuk dipinggang, satu untuk dipikul, dan untuk kepalanya dihargai dengan satu ekor entah kuda, sapi, dan kerbau,” jelasnya.

Seiring berjalannya waktu dan munculnya mata uang, kain tenun tidak digunakan lagi sebagai alat barter namun dijual oleh para perajinnya.

Meskipun begitu, dia mengatakan teknik-teknik pembuatan tenun yang sudah ada sejak zaman dahulu masih digunakan hingga sekarang. Dia mencontohkan dari proses pewarnaan misalnya masih banyak perajin masa kini yang pakai mewarnai kain tenun menggunakan pewarna alami seperti dari daun nila, kayu, dan lain sebagainya.

“Ini proses (pembuatannya) masih dalam sistem manual dan tradisional semua. Alat-alat kerjanya manual semua,” ungkapnya.

Namun dia tidak menampik ada juga proses pewarnaan yang menggunakan pewarna kimia.

“Warna alam 8 bulan. Warna kimia 2 bulan beres,” tuturnya.

Berbicara motif, dia mengatakan biasanya itu dibuat berdasarkan imajinasi dan kreativitas para pengrajin. Namun para pengrajin tetap menghadirkan motif-motif yang identic dengan adat dan istiadat Sumba.

“Untuk motif semua merupakan identik dengan Adat Sumba. Terus dengan alamnya. Karena memang orang tua kami dahulukan dikenal dengan ‘sandelwood’ jadi ketika mereka berburu selalu menggunakan tombak dan kuda,” jelasnya.

Untuk pemasarannya, dia mengatakan ada dua sistem yang dilakukan yakni dengan konvensional dan daring. Kalau penjualan konvensional para pembeli bisa langsung datang ke Kampung Raja Prailiu.

Sementara itu, untuk daring masih hanya sebatas chat WhatsApp dan Instagram saja. Namun dia mengatakan lebih banyak yang mengandalkan via WA.

“Kalau Mama jualan dikunjungi atau juga via WA. kalau shopee atau Tokopedia itu belum. Saya hanya di IG saja. itu juga tidak juga followers-nya banyak. Online-nya hanya via WA pembelinya dari Kota Jakarta,” ungkapnya.

Dia mengakui penjualan melalui internet menghadirkan tantangan tersendiri. Sebab mereka harus bisa bersaing dengan kain tenun lainnya yang harganya cenderung lebih murah.

Menurutnya, para perajin tidak mau pasrah terhadap keadaan. Mereka lebih memilih untuk terus berinovasi dengan menghadirkan berbagai motif dan pilihan warna.

“Bagaimana strategi kita ketika kita pasarkan produk kita. Jadi banyaknya persaingan, jadi Mama coba buat inovasi baru. Inovasi yang dikembangkan dalam hal pewarnaan. Yang tadinya hanya 4 warna tetapi Mama kembangkan jadi 8 warna. Jadi warna itu lumayan bagus juga pemasaran yang 8 warna ini orange, hijau, kuning, biru, putih, hitam, coklat, dan merah,” tutupnya.

Sebagai informasi, tersedianya jaringan internet di Sumba Timur tidak terlepas dari kehadiran Proyek Palapa Ring Timur yang dijalankan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti Kominfo). Proyek ini melibatkan kombinasi kabel laut dan darat untuk menghubungkan internet dari Indonesia wilayah bagian Barat, Tengah dan Timur.

Adapun kabel bawah laut tersebut bakal dipertemukan dengan kabel darat di Beach Manhole (BMH) yang berada tidak jauh dari Pantai Walakiri, Sumba Timur. Dari BMH itu, kabel diteruskan menuju NOC Palapa Ring, setelah itu disalurkan ke Base Transceiver Station (BTS) yang menggunakan transmisi microwave. Kemudian jaringan tersebut bakal disebar ke sejumlah BTS lainnya yang berada dalam jangkauan area. Setelah itu, akses internet pun bisa dinikmati oleh masyarakat.

detikcom bersama Bakti Kominfo mengadakan program Tapal Batas mengulas perkembangan ekonomi, wisata, infrastruktur, wisata, dan teknologi di wilayah 3T setelah adanya jaringan internet di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *