Pilpres 2024 dikemas berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena kali ini akan dilakukan pemilihan kepala daerah serta badan legislatif daerah dan pusat secara serentak. Menteri Keuangan telah menyatakan bahwa anggaran besar senilai Rp 37,4 triliun dalam RAPBN telah disiapkan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024.
Bukan hanya negara, peserta pemilu pun harus menyiapkan dana belanja yang tidak sedikit untuk memenangkan suara. Belanja ini seharusnya mampu menjadi penggerak ekonomi Indonesia, namun hal tersebut ternyata tidak cukup karena─selain dibayang-bayang oleh kondisi ekonomi global─data BPS menunjukkan adanya tren perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun pemilu.
Dana Kampanye
Pemilihan nasional memiliki dampak besar pada pasar uang dan investasi di negara maju seperti Amerika Serikat. Dampak tersebut dapat terlihat dari pergerakan yang signifikan di pasar saham, yaitu penurunan harga saham pada komoditas tertentu setelah sesi debat presiden pada September 2016.
Dampak besar pada pasar saham akibat pemilu tersebut ternyata juga dialami oleh Indonesia di mana selama periode 2023 setidaknya ada tiga kali tren bearish yang terjadi pada awal 2023 dari Januari hingga April hingga mencapai 5% dalam sepekan perdagangan. Tren bearish tersebut dapat diduga berasal dari kebutuhan dana besar terkait Pemilu 2024 akibat sejumlah besar politisi yang menjual sahamnya untuk kebutuhan dana kampanye.
Kebijakan Perusahaan
Para pengusaha tanpa terkecuali juga turut bereaksi terhadap efek pemilu ini. Arifin, Payamta, dan Nor (2020) menjelaskan adanya dua pola kebijakan yang diambil perusahaan di Indonesia dalam menyikapi pemilu. Pola pertama menggambarkan bahwa pada satu tahun sebelum pemilu, perusahaan akan cenderung meningkatkan likuiditasnya dan menunda keputusan investasi untuk menjaga fleksibilitas keuangannya karena adanya ketidakpastian dan risiko diskontinuitas kebijakan.
Perusahaan akan cenderung wait and see dalam merencanakan investasi atau ekspansi sehingga berakibat keengganan untuk mengajukan permintaan kredit kepada perbankan. Dampaknya, penggunaan plafon kredit menjadi tidak dimaksimalkan oleh pengusaha sehingga bank memiliki cukup uang yang disimpan.
Barraza (2020) juga menjelaskan bahwa perbankan memang cenderung menyusutkan penyediaan kredit sebagai respons terhadap peningkatan uncertainty dalam kebijakan ekonomi dalam rangka pembatasan penyediaan dana tunai seketika serta pemberian asuransi likuiditasnya.
Di sisi lain, pola kedua menjelaskan bahwa pada tahun pemilihan, perusahaan justru akan mengurangi likuiditasnya dan meningkatkan investasi dengan memegang lebih sedikit kas dan mengubah aset likuid mereka menjadi aset tidak likuid seperti properti, pabrik, dan peralatan. Hal ini dilakukan untuk memitigasi risiko pemanfaatan aset-aset likuid tersebut oleh para politisi untuk dijadikan sumber pendanaan kampanye mengingat aset dalam bentuk kas akan lebih mudah diambil oleh politisi.
Peran Pemerintah
Di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh pemilu ini, peran pemerintah akan sangat penting untuk mendorong agar perbankan dapat secara aktif menyalurkan kredit. Contoh dorongan yang telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI) adalah melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 2023.
KLM yang semula hanya 2,8% dari dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank, naik menjadi 4% dan diharapkan menjadi booster bagi perbankan untuk aktif menyalurkan kredit karena perbankan akan mendapatkan pengurangan setoran giro wajib minimum (GWM) dan secara langsung akan menambah pasokan likuiditas perbankan.
Walau demikian, perbankan diharapkan tetap menerapkan prinsip KYC (Know Your Customer) mengingat adanya potensi nasabah berisiko tinggi (Politically Exposed Person/PEP) yang mengajukan kredit modal kerja untuk belanja politik. Tanpa penerapan KYC yang baik, akan terjadi kredit tidak tepat guna sehingga berpotensi memicu peningkatan rasio kredit bermasalah. Hal ini tentu bukan output yang diharapkan dari KLM dan tidak akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
KLM merupakan kebijakan pro growth yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat akibat ketidakpastian yang bersumber dari pemilu dan kondisi ekonomi global. Apabila kebijakan ini tidak diterapkan dengan tepat, dan bank justru memilih untuk meningkatkan batas kredit minimum demi menjaga tingkat likuiditasnya, maka yang akan terjadi adalah perlambatan ekonomi. Selain itu, koordinasi kebijakan BI dan fiskal pemerintah harus terus-menerus ditingkatkan demi menjaga stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.