Afrika Selatan Hadapi Masalah Meningkatnya Xenofobia

Milisi sipil yang berpatroli di jalan-jalan di Soweto, Afrika Selatan, hanya punya satu tujuan: mengusir orang asing. Massa yang terdiri dari orang-orang yang mendukung kelompok anti-imigran “Operasi Dudula” menyerbu toko-toko yang disebut Spaza, yang dikelola oleh orang asing di desa Diepkloof. Mereka melecehkan pemiliknya dan memeriksa tanggal penjualan produk-produk lalu mengancam akan menutup toko.

Mathuthu, yang berasal dari Zimbabwe, adalah salah satu dari korban yang menjadi sasaran aksi anti orang asing di Afrika Selatan. “Kalau anggota Operasi Dudula tidak puas dengan pemberian izin usaha kecil kepada warga negara asing, mereka seharusnya menyampaikan keluhan kepada pemerintah atau kementerian terkait”, katanya.

Pendukung Operasi Dudula mengklaim, kementerian terkait tidak berbuat banyak untuk menghentikan orang asing menguasai bisnis. Karena itu mereka mengambil tindakan sendiri.

“Mereka tidak diperbolehkan memiliki toko Spaza,” kata Thabo Ngayo dalam salah satu operasi kelompoknya. Koordinator nasional Dudula itu mengatakan, bisnis tersebut hanya diperuntukkan bagi warga Afrika Selatan. ujar dia kepada seorang pemilik toko: “Itu berarti toko Spaza ini pasti milik orang Afrika Selatan. Anda punya waktu beberapa hari untuk mengosongkan lokasi ini.” Hal yang sama berlaku bagi pemilik asing yang telah mendaftarkan usahanya, ancamnya.

Mzwanele Manyi, perwakilan dari partai Economic Freedom Fighters (Pejuang Kemerdekaan Ekonomi), juga menyerukan penutupan semua toko Spaza milik asing di Afrika Selatan. “Kami tidak bisa mentolerir situasi seperti ini,” katanya kepada DW.

Xenofobia punya akar kuat di Afrika Selatan

Xenofobia bukanlah hal baru di Afrika Selatan. Platform Xenowatch, yang dikembangkan Pusat Migrasi dan Masyarakat Afrika ACMS di Universitas Witwatersrand, mengumpulkan data tentang kejahatan terhadap orang asing. Mereka mencatat 1.038 serangan terhadap migran, 661 kematian dan 5.131 toko dijarah sejak tahun 1994. Xenowatch mengatakan, angka ini hampir pasti merupakan perkiraan yang terlalu rendah, karena tidak semua kasus dilaporkan.

Kelompok “Operasi Dudula” pertama kali muncul di media sosial pada tahun 2020. Dudula adalah kata Zulu yang berarti “mendorong kembali”. Kelompok tersebut kini terdaftar sebagai partai politik dan akan ambil bagian dalam pemilihan umum tahun 2024.

Namun kandidat Dudula bukan satu-satunya yang meneriakkan slogan-slogan xenofobia selama kampanye. Wakil-wakil Economic Freedom Fighters, yang saat ini merupakan partai ketiga terbesar di Afrika Selatan, juga menggunakan narasi itu. Meskipun partai ini mengambil pendekatan sayap kiri radikal terhadap perekonomian, partai ini juga secara terbuka bersifat anti orang asing.

Pengamat politik dari Yayasan Politik Jerman Rosa Luxemburg Stiftung cabang Johannesburg, Fredson Guilengue, mengatakan permasalahan yang dialami orang kulit hitam Afrika Selatan dengan orang-orang dari tempat lain di Afrika disebabkan oleh beberapa faktor. “Pertama, kolonialisme dan Apartheid tidak hanya menyebabkan perpecahan antara warga kulit putih dan kulit hitam, namun juga perpecahan di kalangan mayoritas warga kulit hitam – menempatkan imigran pada posisi terbawah dalam masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan.”

Sekarang, saat kondisi perekonomian terpuruk dan kesempatan kerja minim, banyak partai politik mulai memainkan narasi xenophobia, termasuk elit politik dari partai pemerintah ANC dari pejuang kemerdekaan Nelson Mandela, kata Fredson Guilengue. ANC sedang menghadapi pemilu paling sulit dalam sejarahnya, dan mungkin akan turun sampai di bawah angka 50% untuk pertama kalinya sejak partai itu didirikan.

Permasalahan Afrika Selatan bukan disebabkan oleh para migran

Sebuah studi dari Institute for Security Studies (ISS) di Pretoria menyebutkan, masalah utama di Afrika Selatan seperti pengangguran, meningkatnya kemiskinan, ketidakadilan sosial yang ekstrem, korupsi dan tindakan kejahatan sering kali ditimpakan pada orang asing.

Sebenarnya, kata ISS, penyebabnya adalah tata kelola yang buruk dan korupsi dalam politik, ditambah dengan kekurangan administratif. Populasi migran di Afrika Selatan, yang diperkirakan mencapai 6,5%, tidak lebih besar dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Fakta bahwa banyak orang asing yang tinggal di Afrika Selatan tidak memiliki izin tinggal juga merupakan akibat dari kebijakan imigrasi yang buruk. Banyak orang asing bermigrasi ke Afrika Selatan secara legal, namun kemudian status mereka dicabut bukan karena kesalahan mereka sendiri, kata para peneliti ISS. Mereka mengatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri Afrika Selatan telah dilanda korupsi selama bertahun-tahun, dan juga sangat tertinggal dalam hal pemrosesan permohonan izin tinggal dan izin-izin lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *