Setelah berbulan-bulan menjalani negosiasi tertutup yang ditengahi Amerika Serikat (AS), para pemimpin Arab Saudi dan Israel mengatakan optimismenya terhadap pemulihan hubungan kedua negara.
Pekan lalu, Putra Mahkota dan Pemimpin de facto Arab Saudi, Mohammed bin Salman, mengonfirmasi bahwa Arab Saudi dan Israel kian hari kian dekat, dan bahwa negosiasi tersebut akan jadi “kesepakatan bersejarah terbesar sejak Perang Dingin” ujarnya dalam wawancara dengan stasiun TV AS, Fox News.
Pada Jumat (22/09) di Majelis Umum PBB (UNGA) di New York, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan menggambarkan negosiasi tersebut berada “di titik puncak kesepakatan yang akan menjadi lompatan kuantum bagi kawasan ini.” Namun, kenyataan di lapangan lebih kompleks dan masih banyak permasalahan yang masih perlu diselesaikan.
Arab Saudi tertarik sektor inovasi dan keamanan
Kerajaan di bawah pemerintahan Mohammed bin Salman ini telah meningkatkan hubungan dengan Qatar pada 2021, mulai menjalin hubungan dengan negara musuh bebuyutannya yakni Iran awal tahun ini, dan ingin keluar dari perang yang mahal dan berdarah di Yaman, melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran.
Semua langkah dan aspirasi ini sejalan dengan ‘Visi 2030’ Arab Saudi, yakni upaya perombakan ekonomi dan sosial untuk memodernisasi negara kaya minyak tersebut. Saudi ingin beralih dari mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan utama, dan lebih berfokus kepada energi terbarukan, pariwisata nonreligius, dan produk inovasi.
Dalam hal ini, Israel berguna karena mereka adalah kekuatan besar dalam industri teknologi dan, seperti Saudi, juga tidak berhubungan baik dengan Iran.
Para ahli pun melihat peran AS sebagai motor utama negosiasi Saudi-Israel. “Pemulihan hubungan Saudi-Israel setidaknya merupakan kesepakatan trilateral yang mencakup Amerika Serikat,” Peter Lintl, peneliti di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman, mengatakan kepada DW.
“Sebagai imbalan atas normalisasi hubungannya dengan Israel, Saudi menuntut (untuk menjalankan) program nuklir sipil mereka dan jaminan keamanan dari AS,” kata Lintl. Setelah pembunuhan Jamal Khashoggi pada 2018, Arab Saudi juga tertarik untuk memperbaiki hubungan dengan AS.
Namun Sebastian Sons, peneliti senior di lembaga pemikir Carpo di Jerman, ragu akan kemungkinan Arab Saudi dan Israel menandatangani perjanjian dalam waktu dekat. “Normalisasi secara resmi tidak terlalu diperlukan saat ini, karena Arab Saudi sudah bekerja sama erat dengan Israel di banyak bidang,” kata Sons.
Bin Salman juga telah membatalkan sejumlah tuntutan lainnya, dan menyatakan dalam sebuah wawancara TV baru-baru ini bahwa perjanjian baru dengan Israel akan dapat “memenuhi kebutuhan rakyat Palestina dan menjamin kehidupan yang baik bagi mereka.”
Hal ini menandai perubahan besar dari dukungannya terhadap “Inisiatif Perdamaian Arab” tahun 2002. Perjanjian ini menawarkan keamanan dan relasi dengan 57 negara Arab dan muslim kepada Israel, sebagai imbalan atas penarikan Israel dari wilayah pendudukannya di Palestina dan pembentukan negara Palestina merdeka.
Hari Selasa (26/09), delegasi Saudi tiba di Tepi Barat yang diduduki, guna melakukan pembicaraan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas untuk pertama kalinya dalam 30 tahun.
Netanyahu ingin ciptakan peninggalan di dunia politik
“Tujuan akhir pihak Israel adalah mengadakan perjanjian damai dengan Arab Saudi sebagai negara Arab yang paling penting dan dampak simbolisnya yang sangat besar di dunia Arab,” kata Lintl kepada DW.
Ia menambahkan bahwa kesepakatan semacam itu “menunjukkan bahwa normalisasi tidak harus dilakukan melalui Palestina, dan Palestina tidak lagi menjadi hambatan besar bagi perjanjian perdamaian dengan negara-negara Arab lainnya.”
Sementara itu, protes terhadap kesepakatan ini tidak hanya diharapkan datang dari pihak Palestina tetapi juga dari pemerintahan sayap kanan Israel. Faksi yang mendukung kuat pemukiman tampaknya tidak akan menerima persyaratan yang muncul dalam kesepakatan normalisasi, seperti menempatkan sebagian wilayah Tepi Barat yang sekarang dikuasai Israel di bawah kendali Palestina.
Namun bagi Netanyahu, penandatanganan perjanjian damai dengan Arab Saudi akan jadi puncak warisan politiknya dan mengalihkan perhatian dari masalah yang melilitnya. Selama berbulan-bulan, Netanyahu berada di bawah tekanan domestik atas usulannya tentang reformasi peradilan. Netanyahu juga menghadapi tuduhan korupsi dan tentangan keras dari dalam parlemen Israel, Knesset.
“Jika pemerintahan Netanyahu memberikan konsesi kepada Palestina, sebagian penduduk Israel bisa saja menginginkan adanya pemilu baru. Netanyahu nantinya hanya dapat mendorong kesepakatan ini dengan pemerintahan lain,” kata Lintl.
Biden diuntungkan di pemilu AS?
Tidak diragukan lagi bahwa AS mendukung stabilisasi Israel di Timur Tengah. Presiden Joe Biden juga diperkirakan akan mendapat manfaat dari perjanjian damai Saudi-Israel menjelang pemilu AS mendatang.
“Mungkin ini adalah motivasi politik internal paling kuat yang dimiliki Joe Biden, karena perjanjian damai antara Israel dan Arab Saudi sangat bergengsi, dan akan mengungguli perjanjian Abraham dengan Uni Emirat Arab, Maroko, Bahrain dan Sudan, yang disepakati di bawah pemerintahan AS sebelumnya, di bawah Donald Trump tahun 2020,” kata Peter Lintl.
Selain itu, Amerika Serikat juga akan mendapatkan kembali pengaruhnya sebagai sekutu Arab Saudi dan membendung upaya Cina mencengkeramkan kuku di Timur Tengah.
Meski demikian, Sebastian Sons tetap bersikap hati-hati. “Masih perlu dilihat kembali apakah AS mampu dan bersedia memenuhi tuntutan Saudi. Pertanyaan lainnya adalah, apa yang terjadi jika Biden tidak terpilih kembali tahun depan?”