Selama ini saya pikir bahwa ayah adalah seorang Ambidextrous, tidak punya tangan dominan. Artinya, dia mampu menggunakan kedua tangan sama baiknya untuk semua aktivitas.
Ia dipanggil ‘Kacer’ oleh teman-temannya. Dalam bahasa Madura, ‘Kacer‘ berarti kidal. Tentu saja, hal itu menggelitik keingintahuan saya lebih dalam. Kidal akronim dari ‘Kiri dari Lahir’ mengacu pada orang yang lebih terampil menggunakan tubuh bagian kiri. Hal ini meliputi tangan, kaki, hingga telinga dan mata. Lantaran penggunaan tangan lebih mencolok dibanding anggota tubuh lainnya, mereka yang dominan tangan kirilah yang biasa disebut kidal.
Belakangan ini, baru saya tahu bahwa nama panggilannya sejak kecil itu didasari oleh dominasi tangan kiri ayah yang lebih kuat daripada tangan kanannya. Benar, ayah adalah seorang kidal. Namun, rasa penasaran saya memuncak dan ingin tahu lebih dalam bagaimana kini dia mampu menggunakan kedua tangannya secara seimbang.
“Kalau dominan kiri, Mbak. Kidal dari lahir, he he. Tapi Papa bisa dua-duanya karena diajarkan Eyang,” ungkapnya lewat pesan virtual.
Di masa kecilnya, ayah mengaku mesti belajar mati-matian untuk beradaptasi dengan dunia orang-orang ‘kanan’. Beberapa hal yang wajib ia ubah adalah menulis dan makan dengan tangan kanan.
“Eyang dulu keras mengajarkan untuk pakai tangan kanan. Saat nulis, pasti penggaris mendarat di tangan Papa. Dan tangisan selalu menyertai. Kalau sekarang ya sudah biasa (pakai tangan kanan), Mbak. Justru tangan kiri kalau nulis Papa sulit,” akunya.
Meski lancar bertangan kanan, ia mengaku bahwa secara pola pikir ia masih kidal. Ia juga lebih nyaman menggunakan tangan kiri untuk kegiatan-kegiatan berat atau berolahraga seperti bulu tangkis dan ping pong.
“Kanan juga bisa tapi tidak powerfull. Awal malu Mbak, masih anak-anak di-bully dengan panggilan ‘Kacer‘. Tapi seiring berjalannya waktu, malah Papa bangga. Karena Papa punya kelebihan bisa menggunakan kedua-duanya,” terang Ayah.
Ayah adalah satu total 12% orang kidal di seluruh dunia yang akhirnya bisa beradaptasi menggunakan tangan kanan. Sayangnya, di masa itu tidak semua orang kidal bisa demikian. Akibatnya, alih-alih diterima masyarakat, mereka yang kidal rentan akan stigma negatif dan mendapat diskriminasi semasa hidupnya.
Stigma terkait kiri dan kanan bisa dirunut dari berbagai sisi. Di abad pertengahan Inggris, mereka yang kidal kerap dituduh mempraktikkan ilmu sihir dan rentan dibunuh. Dalam ranah ilmiah pun, ‘bertangan kiri’ disebut ‘sinistral‘, yang berasal dari bahasa Latin ‘sinister‘. Istilah ‘sinister‘ sendiri berarti jahat dan penuh ancaman dalam bahasa Inggris.
Selain itu, dalam bahasa Inggris, kata kiri ‘left‘ berasal dari ‘lyft‘ yang artinya ‘lemah’ dalam bahasa Anglo-Saxon. Sebaliknya, masih dalam bahasa Inggris, kata ‘right‘ atau ‘kanan’ juga berarti ‘benar’.
Persepsi tangan kanan lebih baik dari tangan kiri juga terdapat pada ajaran agama. Pada agama Islam misalnya, terdapat hadits mengenai anjuran makan dan minum dengan tangan kanan.
Seiring berjalannya waktu, mereka yang kidal perlahan mendapat pengakuan. Salah satunya berbentuk Hari Kidal Internasional, yang diperingati tiap 13 Agustus. Berbagai organisasi dan perkumpulan orang kidal juga muncul di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia.
Saya menemui Prawiro Sudirjo, co-founder Komunitas Orang Kidal Indonesia (KOKI). Saat ditemui, ia sedang mengajar mata pelajaran kelistrikan di SMK Citra Mutiara Bekasi. Selain menjadi guru, Prawiro juga adalah Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ketua Ikatan Guru Indonesia Bekasi, serta penulis buku.
Hari itu, Prawiro terlihat tenang menulis di papan tulis dengan tangan kirinya. Saat mengotak-atik mesin di mata pelajaran praktik mesin, ia juga lebih banyak menggunakan tangan kiri. Bermain tenis meja pun ia lakukan dengan tangan kiri.
Namun, saat tiba waktunya makan siang, saya melihat Prawiro makan dengan tangan kanan. Begitu pula saat membayar makanan dan bersalaman dengan orang lain.
“Ya, empat hal tadi yang berhubungan dengan orang, kita tetap menggunakan tangan kanan. Belajar untuk kelihatan biasa, dan tidak kaku. Misalnya, salaman, hormat, memberikan sesuatu. Jadi tidak menimbulkan konflik, gitu ya. Karena kan kalau masyarakat awam, takutnya ada konflik gitu,” jelas Prawiro di program. (28/8).
Prawiro lanjut menceritakan susahnya hidup sebagai orang kidal. Prawiro juga mendapat julukan dari kawan-kawan sebayanya di masa kecil. Ia biasa dipanggil ‘Kebel’ yang dalam bahasa Cirebon juga bermakna kidal.
Menurut pengakuan Prawiro, penerimaan terhadap orang kidal di sekitarnya di masa itu memang sangat minim. Persepsi bahwa tangan kiri itu buruk, memaksa Prawiro untuk belajar dengan tangan kanan. Sayangnya, Prawiro tak begitu berhasil menyembunyikan keunikannya. Alhasil, ia kerap menjadi obyek perundungan, yang kemudian mempengaruhi tumbuh kembangnya.
“Karena dipaksa (pakai tangan kanan), saya jadi cadel. Kemudian, bully-an itu kan membuat kita tidak berani atau takut menampilkan diri. Sehingga saya ngumpet, gitu kan. Jadi trauma, akhirnya tidak berani untuk mencoba-coba yang bersifat fisik, kayak latihan berenang, layangan. Saya bisa naik motor pun sudah di sini, saat sudah ngajar. Akhirnya, lambat secara psikomotorik,” kenang Prawiro.
Meski berhasil menggunakan tangan kanan untuk beberapa aktivitas, Prawiro tetap merasa terpinggirkan. Ia bahkan pernah berjanji pada dirinya, jika ia tetap tidak diterima masyarakat saat mulai mengajar di sekolah, ia akan berusaha untuk berubah total.
“Ketika di sekolah, saya sempat punya tekad juga nih, kalau saya ditolak sama masyarakat, baik guru, orang tua atau sekolah, saya akan belajar kanan, gitu. Tapi ternyata ketika saya di sekolah, awal-awal mereka pada kaget lah ya, anak-anak, guru, orang tua. Tapi ternyata mereka bisa menerima. Jadi saya, ya udah saya lanjutkan aja,” tutur Prawiro.
Penerimaan masyarakat terhadap Prawiro yang kidal perlahan-lahan membuatnya keluar dari keterpurukan. Selain diterima dengan baik di tempatnya bekerja, ia juga bertemu dengan kawan-kawan sesama kidal lewat KOKI. Baginya, komunitas ini adalah tempat di mana para kidal Indonesia bisa berbagi keresahan serta mendapat dukungan emosional.
Tak hanya itu, Prawiro dan KOKI juga menyadari kurangnya fasilitas untuk orang-orang kidal seperti bidet toilet, handgrip motor, hingga sandaran bangku belajar yang umumnya hanya ada di sisi kanan. Dari situ, KOKI membuat petisi kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menyediakan bangku bersandar kiri. Namun, kabarnya petisi tersebut belum bersambut hingga kini.
Melalui KOKI, Prawiro terus belajar menerima dirinya yang kidal. Namun, ia tahu, dunia tetap tidak akan berpihak pada orang kidal selama persepsi negatif terhadapnya tidak berubah.
Oleh karena itu, Prawiro ingin mengubah stigma negatif kidal. Lewat KOKI, Prawiro ikut mengedukasi orang tua yang memiliki anak kidal agar tak memaksakan anak-anak untuk bertangan kanan. Selain khawatir tumbuh kembangnya terhambat, Prawiro juga tak ingin anak-anak merasa tidak diterima oleh lingkungan.
Sebagai guru pun, Prawiro juga mengaplikasikan prinsip yang sama. Beberapa kali ia memiliki murid yang kidal. Prawiro memastikan, pada saat murid tersebut mengalami perundungan, Prawiro akan menegur para perundung tersebut.
“Misalnya di kelas kita ada yang kidal, ya ketika dia mencoba menulis di depan, kalau ada yang meledek, saya tegur. Jangan ledek-ledek, gitu ya. Saya juga memberi edukasi bahwa hal-hal seperti itu walaupun kamu hina, itu bisa jadi kelebihan dia kalau kamu tidak tahu. Sebetulnya nanti jadi sesuatu yang berguna. Bisa melebihi yang biasa,” kata Prawiro.
Bersama KOKI, perlawanan Prawiro di dunia orang ‘kanan’ masih menempuh perjalanan panjang. Tak berhenti Prawiro berharap akan terciptanya dunia yang menerima orang kidal sepenuhnya. Dunia di mana Prawiro, ayah saya, serta orang kidal lainnya, tak perlu bersembunyi dan mengubah diri semata-mata karena dianggap berbeda.