Diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 telah menuai atensi yang luas di masyarakat. SEMA a quo memberikan petunjuk kepada hakim untuk menolak permohonan izin pencatatan perkawinan beda agama. Mengingat sebelumnya terdapat penetapan Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama yang kemudian mendapat sorotan.
Jika SEMA a quo dibaca dalam konteks sosial yang berlangsung, maka tidak mengherankan begitu banyak kritik dilontarkan karena adanya kecenderungan yang kuat pada formalisme keagamaan. Kondisi masyarakat modern yang ditandai dengan supremasi kebebasan individual cenderung menolak anasir yang dianggap mengancam otonomi wilayah privat. Kewenangan negara hendak dibatasi pada wilayah administratif berupa pencatatan peristiwa keperdataan semata, bukan dengan mengatur lewat pembatasan tertentu seolah mendikte bagaimana hak personal digunakan.
Tetapi, pandangan demikian cukup problematik. Sebab, peristiwa hukum berupa perkawinan berimplikasi yuridis terhadap permasalahan terkait hubungan keperdataan lainnya, seperti waris, harta bersama, dan status anak. Di sini, negara tidak dapat diposisikan sebagai petugas administratif belaka mengingat terdapat ancaman potensial terhadap kepentingan para pihak yang mesti dilindungi.
Potensi persengketaan yang timbul akibat perkawinan beda agama sedapat mungkin dihindari. Jangan sampai, misalnya, disebabkan oleh perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris menyebabkan salah satu ahli waris merasa menjadi korban dari institusi perkawinan yang ada karena hilangnya hak-hak atas warisan maupun ketidakadilan dalam pembagiannya.
Artinya, kedudukan negara di hadapan lembaga perkawinan tidak dapat direduksi ke dalam pandangan fungsional “negara penjaga malam”. Perkawinan harus dipahami sepaket dengan segenap akibat hukum yang ditimbulkannya dan negara bertanggung jawab untuk menjaga harmoni kepentingan antarindividu.
Dasar persoalan perkawinan beda agama disebabkan karena adanya legal standing dalam UU Administrasi Kependudukan yang memberikan hak bagi para pihak yang ditolak perkawinannya oleh petugas pencatat nikah untuk mengajukan permohonan mengenai izin perkawinan beda agama di Pengadilan. Penggunaan dasar hukum terhadap UU a quo adalah pintu masuk mengapa permohonan perkawinan beda agama kemudian dikabulkan oleh hakim. Padahal diketahui bahwa agama-agama di Indonesia tidak mengizinkan perkawinan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), misalnya, jelas ditentukan bahwa perkawinan beda agama tidak sah.
Praktis hal ini melahirkan kebingungan di masyarakat, di mana perkawinan beda agama dilarang sekaligus diizinkan dalam satu tarikan napas. Ketidakpastian hukum demikian menyebabkan para pihak tidak dapat memperkirakan hukum yang akan diberlakukan dan memprediksi penetapan hakim terhadap perkaranya. Padahal sebagaimana pendapat yang masyhur dari Gustav Radbruch, jaminan kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum.
Prioritas Kasuistik
Selama ini perdebatan mengenai perkawinan beda agama cenderung diletakkan pada aspek kemanfaatan hukum semata. Dalam teori Islam, terdapat dalil sadduz zariah dan maslahah yang kerap dipergunakan, seperti kaidah fikih yang menentukan bahwa menghindarkan kemafsadatan didahulukan ketimbang mendatangkan kemaslahatan. Atau dengan menggunakan ukuran maslahah berupa timbangan pada aspek kebaikan dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang sifatnya telah nyata maupun yang potensial terjadi.
Tetapi, apa sebenarnya hukum dari nikah beda agama tidak pernah benar-benar tuntas dibahas dari segi hukum negara. Anggapan bahwa nikah beda agama sebagai hal yang terlarang merupakan simpulan dari Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang sesungguhnya menyerahkan keabsahan perkawinan beda agama kepada masing-masing agama. Sementara dogma agama senantiasa membuka peluang perbedaan dalam memahaminya.
Lantas, apakah dengan adanya perbedaan pendapat demikian menyebabkan negara menutup mata? Justru, dalam situasi demikianlah negara dituntut hadir untuk mengantisipasi ketidakpastian; memperjelas apa yang kabur. Dalam konteks ini, SEMA No. 2/2023 dihadirkan. Yakni untuk mengatakan bahwa dari segi agama-agama di Indonesia, perkawinan beda agama merupakan hal yang tidak diperbolehkan, sehingga tidak dapat dikabulkan.
Lebih lanjut, dalam hal-hal berkaitan dengan perbedaan seperti ini, diperlukan adanya kepastian hukum yang dapat dirujuk, di mana negara dituntut hadir untuk menentukan suatu hukum yang menjadi pedoman, sekaligus menjaga keselarasan sistem hukum negara dan agama beserta implikasi yuridisnya.
Dalil pembatasan peran negara sesungguhnya tidak konsisten jika diperbandingkan dengan ketentuan lain dalam hukum perkawinan. Contohnya, pembatasan poligami dengan persyaratan tertentu dalam Pasal 4-5 UU Perkawinan. Padahal jika didasarkan pada logika otonomi individu dalam mengamalkan agama, justru pembatasan demikian telah mengacaukan kekhusyukan pengamalan agama.
Tetapi sekali lagi, negara perlu menentukan aturan mainnya. Dalam Islam, sekalipun kerap dikatakan perkawinan sebagai ibadah, tetapi sesungguhnya berada pada wilayah fikih yang selalu berinteraksi dengan kondisi sosial-budaya. Sehingga status hukumnya akan selalu diperdebatkan sepanjang zaman di setiap masyarakat.
Untuk itu, perlu dikatakan bahwa terhadap isu perkawinan beda agama, prioritas kasuistik yang mesti diutamakan terlebih dahulu sebagaimana teori Rudbruch ialah aspek kepastian hukum mengenai norma hukum yang ditentukan keberlakuannya. Sementara terhadap segi kemanfaatan merupakan aspek yang dipertimbangkan setelah diperoleh kepastian hukum.
Kedudukan SEMA
Terdapat anggapan bahwa SEMA No 2/2023 semestinya tidak sampai pada kesimpulan untuk menyatakan penolakan terhadap perkawinan beda agama. Dengan alasan, isi SEMA a quo bertentangan dengan UU Adminduk yang mengakui adanya perkawinan beda agama. Padahal, sejatinya ketentuan dalam UU Adminduk bukan untuk menetapkan status keabsahan perkawinan, melainkan menerangkan secara administratif keabsahan sesuatu yang telah dianggap sah oleh agama.
SEMA a quo hanyalah pedoman bagi hakim yang substansinya diderivasi dari UU Perkawinan, bukan satu regulasi yang berdiri sendiri. Penegasan oleh SEMA demikian tidak sama dengan menyatakan bahwa perkawinan beda agama secara mutlak ditolak. Sebab bagaimanapun, norma hukum selalu membuka peluang penyimpangan. Secara kasuistik, hakim dapat melakukan contra legem terhadap ketentuan hukum sepanjang didasarkan pada argumentasi yang memadai.
Sehingga, dalam isu perkawinan beda agama, kepastian hukum tidak pula diletakkan sebagai tujuan mutlak. Adakalanya perkara tertentu menuntut dilakukan penemuan hukum dengan mendudukkan kemanfaatan dan keadilan sebagai timbangan. Sebagaimana diingatkan dalam adagium summum ius summa iniuria —kepastian hukum yang absolut adalah ketidakadilan yang tertinggi.