“Upper-Middle Income” dan Ketimpangan

Awal Juli 2023, Indonesia dinobatkan sebagai negara Upper-Middle Income oleh Bank Dunia. Prestasi yang direnggut oleh pandemi COVID-19 ini telah kembali ke tangan Ibu Pertiwi di saat perekonomian dunia bergejolak. Pendapatan per kapita Indonesia meningkat dari USD 4.252 menjadi USD 4.580 atau sebesar 9,8%.

Kebijakan pelonggaran protokol kesehatan pascapandemi membuka lebar sumber-sumber aktivitas perekonomian dan membebaskan Kembali mobilitas masyarakat. Oleh karena itu, pendapatan masyarakat dapat meningkat yang berdampak pada status negara di mata internasional.

Dengan berbagai upaya, kontraksi ekonomi pada 2020 yang mencapai -2,07% berhasil ditingkatkan menjadi 5,03% pada kuartal pertama 2023. Perjalanan yang cukup dramatis bagi Indonesia untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif pascapandemi.

Fenomena resesi ekonomi global menjadi latar belakang drama pergerakan ekonomi Indonesia. Konflik geopolitik yang terus mengganggu supply komoditas global, sehingga berdampak pada gejolak harga dan berakhir pada inflasi tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hikmahnya, di tengah tingginya inflasi Indonesia justru mengalami peningkatan kelas dari lembaga internasional sekaliber Bank Dunia.

Angka Ketimpangan

Berselang tidak terlalu lama dengan rilis Bank Dunia, pertengahan Juli 2023 BPS merilis angka ketimpangan yang mengalami peningkatan menjadi 0,388. Berdasarkan distribusi pengeluaran orang miskin hanya kebagian 18,05% sedangkan orang kaya mendapat bagian 46,71%. Data ini menggambarkan kesenjangan antara penduduk dengan pengeluaran 40% terbawah (miskin) dengan 20% teratas (kaya) yang semakin melebar.

Artinya, peningkatan pendapatan per kapita yang terjadi selama pascapandemi hanya bisa dinikmati penduduk kaya saja. Jika dilihat berdasarkan wilayah, ketimpangan di perkotaan mengalami peningkatan hingga mencapai 0,409, sedangkan ketimpangan di desa stagnan pada angka 0,313.

Ketimpangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin di perkotaan juga semakin lebar yaitu antara hampir 49% (20% penduduk teratas) dan 16,99% (40% penduduk terbawah). Sedangkan ketimpangan di desa terlihat lebih moderat dengan nilai pembagian pendapatan 21,18% bagi penduduk miskin (40% terbawah), sedangkan penduduk kaya sebesar 40% (20% penduduk teratas). Gap distribusi pengeluaran yang tidak terlalu besar di pedesaan dibanding perkotaan.

Ketimpangan per provinsi yang tertinggi berada di DI Yogyakarta dengan rasio gini sebesar 0,449 dan DKI Jakarta dengan rasio gini 0,431. Sedangkan provinsi dengan ketimpangan terendah yaitu Bangka Belitung dengan rasio gini sebesar 0,245 dan Kalimantan Utara dengan rasio gini 0,288.

Jika dilihat berdasarkan pulau, Sumatera memiliki rasio gini sebesar 0,313, Pulau Jawa dengan rasio gini tertinggi yang mencapai 0,404. Sedangkan Bali dan Nusa Tenggara memiliki rasio gini sebesar 0,354, Kalimantan memiliki rasio gini terendah yaitu 0,310. Sementara itu, Pulau Sulawesi memiliki rasio gini senilai 0,365. Terakhir, Pulau Maluku dan Papua memiliki rasio gini sebesar 0,336.

Dengan demikian selisih ketimpangan antara provinsi dan pulau yang tertinggi dan terendah juga cukup lebar. Fenomena ini juga tervalidasi dari jumlah simpanan, di mana simpanan masyarakat di bank yang lebih dari Rp 5 miliar sebanyak 52,5%, sedangkan untuk simpanan yang kurang dari Rp 100 juta hanya sebanyak 12,5%, sisanya merupakan simpanan yang lebih dari Rp 100 juta namun di bawah Rp 5 miliar yaitu sebanyak 35%.

Berdasarkan rekeningnya, 98,8% rekening memiliki simpanan kurang dari Rp 100 juta, sedangkan 1,2% rekening memiliki simpanan lebih dari satu juta hingga lebih dari Rp 5 miliar. Dengan demikian simpanan orang menengah atas memiliki jumlah yang lebih besar dibanding dengan kelompok masyarakat terbawah. Ketimpangan kekayaan orang dengan pendapatan teratas dengan pendapatan bawah juga termasuk tinggi yaitu 98,8% dibanding 1,2%. (Data Per Mei 2023)

Berdasarkan provinsi, hampir 50% dari jumlah total simpanan di bank berada di DKI Jakarta dengan jumlah rekening 21% dari total. Sebanyak 59% rekening simpanan masyarakat berada di Pulau Jawa, sedangkan yang tersebar di pulau-pulau lain hanya sekitar 41%. Hal ini juga menggambarkan ketimpangan di Pulau Jawa lebih besar dibandingkan di pulau-pulau lain luar Jawa.

Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Mengacu pada ketimpangan yang begitu tinggi, perlu adanya analisis menyeluruh tentang pertumbuhan ekonomi seluruh daerah di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada kuartal pertama 2023, pertumbuhan ekonomi tertinggi berdasarkan pulau berada di Sulawesi dengan nilai 7% jauh berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah berada di Pulau Maluku dan Papua yang hanya mampu tumbuh sebesar 1,95%.

Namun jika dilihat berdasarkan kontribusi, Pulau Jawa memiliki kontribusi 57,17% dan Sumatera sebesar 21,81% terhadap PDB Nasional. Sedangkan Kalimantan berkontribusi sebesar 9%, Sulawesi berkontribusi sebesar 6,78%. Pulau dengan kontribusi terendah adalah Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,68% serta Maluku dan Papua yang hanya berkontribusi 2,46%. Dengan demikian aktivitas perekonomian nasional secara umum hanya berada di wilayah Jawa dan Sumatera yang menguasai hampir 80% dari laju perekonomian. Sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Papua hanya menguasai 50%.

Hal ini sangat di sayangkan, di mana luas wilayah dari Pulau Jawa dan Sumatera jika digabung kurang dari luas Pulau Kalimantan atau Papua. Dengan demikian seharusnya perputaran ekonomi di wilayah yang lebih luas seperti Kalimantan dan Papua setidaknya mendekati aktivitas ekonomi yang ada di Pulau Jawa. Pergerakan perekonomian yang kurang merata inilah yang mengakibatkan adanya gap ketimpangan yang lebar, sehingga aktivitas ekonomi juga tidak bisa terjadi secara bersamaan di setiap wilayah.

Kontradiktif

Dinobatkannya Indonesia menjadi Upper-Middle Income Country ini tentu sangat kontradiktif dengan ketimpangan yang terjadi. Naiknya level negara dari Bank Dunia tentu tidak serta merta dapat dinikmati oleh masyarakat kecil dengan naiknya pendapatan secara riil ataupun juga masyarakat luar Pulau Jawa.

Prestasi di dunia global ini hanya menguntungkan posisi Indonesia secara tampak luar saja, namun di dalamnya masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan supaya bisa menjadi negara maju pada 2045. Pemerataan aktivitas perekonomian di setiap wilayah, terutama di Indonesia bagian timur dan Kalimantan perlu digalakkan lagi.

Mengacu pada pembangunan sektoral, aktivitas ekonomi hijau dan ekonomi biru sudah harus segera dipercepat di daerah timur Indonesia. Potensi perikanan dan kelautan yang begitu besar di daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua perlu mendapatkan sentuhan lebih dari pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk mendorong kontribusi wilayah ini pada PDB Nasional.

Selain itu, kebijakan hilirisasi komoditas unggulan seperti pertambangan, pertanian, dan perkebunan harus segera diimplementasikan secara merata. Hal ini guna mendorong pemerataan pendapatan di daerah, terutama di luar Pulau Jawa. Program hilirisasi ini tentu akan berdampak pada pemerataan jika dilaksanakan dengan baik berdasarkan potensi daerah masing-masing dan dengan memanfaatkan masyarakat lokal.

Sayangnya, sering proses hilirisasi yang dilakukan hanya bermanfaat bagi segelintir orang yang bukan dari golongan masyarakat dengan pendapatan terbawah. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan yang sangat diharapkan sebagai roda perekonomian wilayah Kalimantan dan sekitarnya. Percepatan pembangunan IKN perlu dilakukan agar pemerataan pembangunan dan distribusi pendapatan sampai ke tangan masyarakat bawah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *