Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti mengatakan eksistensi gerakan budaya yang dicanangkan oleh warga Sunda Wiwitan saat ini dinilai sebagai bentuk perlawanan diskriminasi terhadap perempuan adat dan pemeluk agama leluhur. Hal itu disampaikan dalam acara diskusi bertema ‘Perempuan Adat Akur, Batik dan Kitab Kehidupan’ di Komnas Perempuan.
“Ini adalah sebagai bentuk perlawanan kultural atas diskriminasi yang dihadapi negara. Jadi gerakan kebudayaan yang menjadi karya mereka, menjadi jawaban sebuah perjuangan panjang. Komunitas ini Sunda Wiwitan, mereka mempertahankan eksistensinya lebih dari 1 abad dari diskriminasi,” kata Dewi di Komnas Perempuan, Jakpus, Senin (31/7/2023).
Dewi menjelaskan bahwa perempuan adat Sunda Wiwitan saat ini dapat bertahan hidup melalui karya kebudayaan yaitu membuat batik yang menggambarkan kehidupan warganya. Bahkan dengan adanya karya tersebut, masyarakat Sunda Wiwitan dapat menghilangkan stigma negatif dari masyarakat luar.
“Perempuan adat menjadi sebuah potret perlawanan, mereka mampu bertahan melalui karya kebudayaan, pameran kebudayaan. Bahkan merawat kebudayaannya. Beragam persoalan yang dihadapi, kembali menjadi refleksi catatan kehidupan dalam sejarah masyarakat ini, dan perempuan bagian dari subjek menorehkan sejarah peradaban di komunitas itu,” ujarnya.
“Kami mencatat ada gerakan stigmatisasi kepada kelompok ini, tapi dijawab dengan kesenian yang justru bisa meruntuhkan stigma-stigma jelek. Jadi bagaimana kreatifitas kebudayaan adat menjadi penarik tersendiri,” lanjutnya.
Dewi bercerita perempuan Sunda Wiwitan mulai membuat batik yang didasari oleh kehidupan sehari-hari. Menurutnya, perempuan memiliki daya untuk melanjutkan kehidupan terutama di tahun politik Ini.
“Namun adalah satu strategi itu sangat luar biasa ketika perempuan Sunda Wiwitan ini membuat sebuah batik yang bercerita tentang kehidupan mereka. Merawat eksistensi dan menampilkan pada publik,” ungkapnya.
“Salah satu contohnya, betapa perempuan punya daya penting untuk melanjutkan kehidupan di tengah situasi, terutama di tahun politik di 2023 dan 2024. Ini juga menjadi salah satu refleksi bagaimana penganut agama leluhur lainnya bisa terus berjuang dan mereka menunjukkan eksistensinya,” tuturnya.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan tahun ini, ada sekitar 431 kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan. Ia merinci, bahwa diskriminasi itu masih diadakan oleh perempuan adat dan penganut agama leluhur.
“Kemudian posisi ini semakin diperburuk ketika negara kita masih memproduksi kebijakan diskriminatif di berbagai daerah. Sampai tahun 2023 ada 431 kebijakan diskriminatif dan 305 diantaranya masih berlaku hingga saat ini,” kata Veri.
“Perempuan adalah salah satu korban di dalam kasus intoleran dan kebijakan diskriminatif tersebut. Kalau kita mau menelisik lebih jauh, mereka yang terdiskriminasi adalah penganut agama leluhur, perempuan dan diantaranya adalah Sunda Wiwitan,” imbuhnya.
Sebagai informasi, pelayanan pemerintah terhadap penghayat kepercayaan masih menyisakan persoalan. Perjuangan pewaris ajaran leluhur itu untuk diakui sebagai ‘agama’ misalnya, kendati sudah menemukan setitik harapan pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, yang mengabulkan aspirasi mereka untuk mencantumkan ‘penghayat kepercayaan’ pada ‘kolom agama’ di KTP belum direkognisi sepenuhnya oleh pemerintah sebagai ‘agama’.
Sebagai contoh, meski kolom agama di KTP dapat diisi dengan identitas ‘penghayat kepercayaan’, namun hingga hari ini, fungsi pembinaan terhadap penghayat kepercayaan masih diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), bukan oleh Kementerian Agama. Hal ini lantaran pemerintah memandang ‘aliran kepercayaan’ merupakan produk budaya, bukan agama, kendati memiliki sembahan, ajaran, ritual, teks suci, guru utama, dan rumah ibadat.
Ajaran Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, misalnya, memiliki rumah ibadat bernama Paseban Tri Panca Tunggal dan ibadat ritual Kurasan. Demikian pula ajaran Parmalim di Sumatera Utara memiliki rumah ibadat yang khas bernama Bale Pasogit, tempat mereka melakukan ibadat ritual Marari Sabtu.
Juga ajaran Kaharingan di Kalimantan yang memiliki rumah ibadat bernama Bale Basarah dan kitab suci yang disebut Panaturan. Sebut pula ajaran Marapu di Nusa Tenggara Timur yang memiliki rumah ibadat bernama Kemah Suci.