Minggu pagi di Kota Sorong terasa sunyi. Udara pagi begitu segar dihirup. Cuaca pun cerah. Matahari baru saja menampakkan wajahnya dan beranjak naik dari cakrawala. Dari jauh terdengar sayup-sayup bunyi lonceng gereja yang bersahutan. Memanggil para jemaat Kristiani beribadah.
Di jalan raya kawasan Tembok Berlin tempat saya menginap hanya terlihat sejumlah kendaraan bermotor dan angkutan kota yang sesekali melintas. Lokasi ini berada di dekat pantai yang menghadap ke laut. Berjarak sekitar 300 meter dari pelabuhan laut Port of Sorong. Kawasan yang selalu sibuk dan ramai bila ada kapal Pelni bersandar.
Sepanjang kawasan Tembok Berlin hingga ke arah pelabuhan laut Sorong, biasanya ramai oleh hingar-bingar aktivitas malam. Terlebih pada malam Minggu. Pada hari-hari biasa, kawasan ini selalu ramai dijejali banyak pedagang kaki lima hingga warung yang menawarkan aneka hidangan lezat. Kota Sorong sudah sejak lama dikenal sebagai pelabuhan utama dan pintu gerbang pembangunan di Tanah Papua atau dulu disebut Irian Jaya.
Hari itu tanggal 25 Juni 2023. Saya sudah menetap selama dua hari di Kota Sorong. Sebelumnya saya telah melintasi samudera bersama Kapal Ciremai milik PT. Pelni dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Perjalanan laut ini ditempuh selama lima hari hingga tiba di Sorong pada Jumat siang. Cukup melelahkan. Soalnya kondisi di atas kapal berjalan monoton.
Siang itu saya berencana mengunjungi Kumurkek, ibu kota Kabupaten Maybrat. Maybrat adalah wilayah leluhur orangtua saya yang terakhir kali saya kunjungi pada 2013 atau 10 tahun silam. Saat itu saya datang dari Jayapura menumpang kapal Pelni ke Sorong lalu ke Maybrat untuk mengambil rangkaian foto pra wedding saudara saya di beberapa spot menarik. Dari Sorong kami menggunakan mobil Fortuner yang masih tampak baru untuk menjelajah beberapa lokasi menarik di Maybrat dan Sorong Selatan.
Kali ini misi saya berbeda. Di penginapan, saya sudah mengemas barang sejak pagi, mandi, dan sarapan. Tak lupa menyiapkan kopi susu hangat untuk menemani perjalanan. “Pagi…mau ke mana, Adek? Mau berangkat?” tanya seorang ibu di penginapan. “Mau ke Maybrat, Ibu,” jawab saya saat duduk di sofa yang kulitnya sudah robek sambil mengikat tali sepatu di teras depan.
“Nanti ikut apa ke Maybrat, jauh ka?” tanya ibu ini kembali. “Saya rencana mau naik bus karena lebih murah ibu. Bisa juga naik mobil Avanza, Fortuner atau Strada di Pasar Remu. Cuma lebih mahal!” ujar saya memberi penjelasan. Setelah mendengar penjelasan, ibu ini mengangguk sembari menyampaikan selamat jalan lalu beranjak pergi.
Saya sudah berencana menumpang bus milik Perum DAMRI yang menyediakan jasa angkutan melintasi wilayah Maybrat dan Sorong Selatan pulang pergi. Soalnya tarif perjalanan dengan bus jauh lebih murah ketimbang mobil penumpang biasa atau carteran.
Sehari sebelumnya, saya sudah melakukan survei ke Pasar Remu, Pasar Bersama, dan Kantor Perum DAMRI di kilometer 10 Kota Sorong. Membandingkan ongkos perjalanan per orang ke Maybrat bila menggunakan bus, mobil penumpang reguler atau carteran. Jadi saya memilih menumpang bus yang harganya 170 ribu rupiah untuk rute Sorong – Kumurkek Maybrat sebagai jarak terjauh.
Jika kita turun di kampung-kampung (desa) sekitar danau Ayamaru dan Aitinyo, ongkos regulernya hanya berkisar 100 – 150 ribu per orang. Lebih murah dibanding menumpang mobil angkutan darat lain yang tarifnya dua kali lebih mahal. Saya sudah menitip koper berisi pakaian kepada seorang wanita berusia senja pengelola penginapan. Memohon pamit sekaligus memberitahu dia bahwa saya akan ke Maybrat untuk beberapa hari.
Setelah itu saya menenteng tas ransel berisi laptop dan perlengkapan lain melenggang keluar untuk menumpang angkot. Setelah menunggu selama beberapa menit karena jalanan di kawasan Tembok Berlin dan Kampung Baru cukup sepi, sebuah taksi kuning pun datang. Saya bergegas naik dan di dalam taksi tidak ada penumpang lain. Di Sorong, taksi yang melayani berbagai rute hampir semuanya berwarna kuning. Sudah dari dulu warnanya begitu.
Taksi yang dikemudikan sopir orang non Papua ini lalu membawa saya dari kawasan Tembok Berlin menuju Pasar Remu. Sepanjang perjalanan ada sejumlah penumpang yang naik. Setelah mengambil rute ke area Malanu, taksi ini memutar dan menurunkan saya tepat di samping Gereja Maranatha. Suasana pagi itu tampak ramai oleh para jemaat yang berbondong-bondong untuk beribadah.
Saya turun setelah membayar ongkos 7000 rupiah. Sebelum menumpang taksi berikutnya ke area kilo 10, saya sempat mengambil uang di ATM Bank Mandiri terdekat untuk ongkos bus DAMRI dan bekal perjalanan. Selanjutnya menumpang taksi yang berjejer di depan Gereja Maranatha ke arah kilo 10. Ini adalah rute menuju wilayah Kabupaten Sorong. Melewati kawasan Bandara Domine Eduard Osok (DEO) yang dari luar jalan tampak sudah berbenah.
Jalan raya utama yang melewati kawasan ini cukup besar. Dibagi dua jalur. Di tengah ruas jalan, ditanam deretan pohon glondokan tiang yang berjejer mengikuti liukan arah jalan. Bentuk pohonnya mengerucut, berwarna hijau kekuningan. Deretan pohon ini sepertinya baru berumur dua tahunan. Bila sudah besar dan tumbuh lurus ke atas, pohon-pohon ini akan memancarkan kesan lingkungan nan elok dipandang.
Pada sisi jalan raya utama, dibangun jalur trotoar yang cukup rapih. Juga ditanami aneka pepohonan yang berjejer sepanjang jalur trotoar. Di kiri kanan jalan berjejer berbagai bangunan seperti pertokoan, hotel, dan perumahan. Kawasan ini memang jauh lebih tertata, ketimbang area pusat Kota Sorong yang bisa dibilang sangat semrawut, kumuh, dan banyak sampah berserakan di jalanan.
Setelah kurang lebih 10 menit perjalanan, saya turun di depan Kantor Perum DAMRI Kota Sorong yang berada di Jalan Bazuki Rahmat kilo 10. Dari pinggir jalan, saya membuang pandangan ke arah tempat parkiran bus yang melayani rute Sorong – Sorong Selatan dan Maybrat. Ada beberapa bus yang sudah rusak. Beberapa juga tampak masih baru. Ada yang warna catnya sudah mulai kusam dan terkelupas, namun masih layak jalan.
Saya lalu berjalan menuju loket pembelian tiket. Beberapa orang sudah datang mengantre untuk membeli tiket lebih awal. Setelah membayar tiket, petugas loket memberi tahu saya bahwa bus akan berangkat pukul 12 siang di hari minggu. “Kalo hari-hari biasa, bus akan berangkat pagi”, kata petugas ini menjelaskan dengan logat Papua yang khas. Sekilas pria di loket ini maupun beberapa petugas yang bekerja di pangkalan bus kilo 10, bukan orang asli Papua.
Setelah tiket diperoleh, saya mencari sisi bangunan pangkalan bus DAMRI yang sepi dan sejuk untuk duduk bersantai. Waktu di handphone saya sudah menunjukkan pukul 9:45 pagi. Matahari sudah mulai meninggi dan teriknya mulai terasa di kulit wajah. Waktu keberangkatan bus masih menunggu dua jam ke depan. Penumpang juga belum banyak yang datang.
Perut saya sudah mulai terasa perih karena lapar. Padahal, masih pagi dan saya sudah sarapan sebelumnya. Saya lalu mengeluarkan sebungkus nasi kuning dari dalam tas. Membukanya dan melahap isinya. Ditambah beberapa kue donut, panada, dan nasi wajik yang sudah saya siapkan saat di penginapan. Semuanya terasa enak di mulut dan perut.
Setelah meneguk sebotol air putih, perut saya langsung kenyang. Saya lantas duduk bermalas-malasan sambil bersandar di sisi luar tembok bangunan Kantor Perum DAMRI. Angin sepoi-sepoi datang menerpa wajah. Rasa kantuk pun bertambah. Aduh, saya hampir saja tertidur dan bisa ketinggalan bus ke Kumurkek.
Menuju Maybrat
Setelah menunggu selama dua jam lebih, bus pertama tujuan Maybrat sudah disiapkan. Dua orang petugas berdiri di samping bus meminta para penumpang bersabar untuk mengantri. Seorang dari mereka membuka secarik kertas lalu memanggil satu persatu nama penumpang naik ke dalam bus. Nama saya di urutan ketiga.
Setelah masuk ke bus, saya kebingungan karena mengira penumpang akan duduk di kursi dengan nomor sesuai tiket. Tapi di kursi dan kabin bus tidak tertulis nomor urut. Saya kembali bertanya kepada petugas, apakah saya harus duduk di kursi sesuai nomor? Tapi dia menyarankan saya bisa memilih kursi mana saja sesuai keinginan.
Semua penumpang sudah naik. Seluruh kursi terisi penuh. Mesin bus dihidupkan, siap bergerak. Bus yang membawa kami ini dari luar catnya masih tampak bagus. Tapi di dalamnya, kursi dan ruangan kabin sudah mulai usang. Metal pembuat rangka kursi, jendela, pintu dan dinding ruang dalam bus tampak sudah karatan bahkan sedikit keropos. Pemandangan ini membuat saya sempat kuatir soal keselamatan dan kenyamanan perjalanan.
Seorang pria Maybrat paruh baya yang duduk di sebelah saya menggerutu. Soalnya saat bus mulai bergerak, sopir tidak mendahului perjalanan dengan mengajak para penumpang berdoa terlebih dahulu. Menurutnya, penumpang perlu berdoa meminta perlindungan Tuhan karena perjalanan jauh. Begitu pun medan jalan masih tergolong rumit. Walah, sebenarnya penumpang bisa berdoa di tempat duduknya masing-masing.
Tiba saatnya bus mulai bergerak. Jam di handphone saya menunjukkan pukul 12.45 siang. Waktu keberangkatan sudah telat satu jam lebih dari yang ditentukan jam 11 siang. Jadi saya mulai kuatir bakal kemalaman atau hari sudah gelap saat tiba di Kumurkek, ibu kota Kabupaten Maybrat. Sebab baru kali ini saya ke Kumurkek dan belum mengenal seorang pun.
Saya duduk di samping jendela pada kursi urutan keempat dari depan. Tepat di samping pintu belakang yang sengaja dikunci. Di sebelah saya duduk seorang perempuan Maybrat bermarga Wafom, marga yang berasal dari Kumukek. Ia ditemani anaknya yang duduk bersandar di kakinya. Menjaga barang bawaan yang ditaruh di celah tangga turun pintu belakang. Anaknya tak punya tiket saat naik karena habis terjual untuk orang dewasa.
Saya sengaja memilih kursi di samping jendela agar mudah menangkap pemandangan di luar. Perjalanan darat dari Kota Sorong ke Maybrat berjarak kurang lebih 180 kilometer. Bila ditempuh dengan bus, butuh 5 hingga 6 jam. Sedangkan kalau menggunakan mobil angkutan reguler atau carteran, diperlukan sekitar 3 jam perjalanan.
Bus yang kami tumpangi ini lalu bergerak menuju arah distrik (kecamatan) Aimas – Klamono, Kabupaten Sorong. Melalui ruas jalan beraspal yang cukup mulus. Melewati area dengan kondisi hutan dan lahan yang masih kosong. Jarang perumahan dan hanya berupa lahan pertanian, perkebunan serta kebun-kebun tradisional. Wilayah ini sejak 1980an dijadikan lokasi tujuan transmigrasi dan basis pertanian di wilayah Sorong.
Kami juga melewati alun-alun Kantor Bupati Sorong. Ada jaringan pipa minyak di sisi jalan yang menghubungkan ladang minyak Klamono dan pelabuhan Pertamina di Kota Sorong. Jaringan pipa minyak ini membentang sejauh puluhan kilometer.
Di awal perjalanan, bus kami berhenti sebentar di sebuah kampung di Distrik Mariat Gunung. Membawa barang titipan ke Maybrat. Kondisi ruas jalan di area ini masih relatif baik. Walaupun di beberapa titik terdapat jalan berlubang dan berbatu pasir. Sesekali bus menuruni turunan curam. Berbelok di tikungan sempit dan menaiki tanjakan terjal yang membuat mesin mobil bergemuruh. Sopir juga harus mengontrol laju kendaraan, membunyikan klakson dan menginjak rem dengan baik.
Selama perjalanan, bus kami kadang berpapasan dengan kendaraan lain yang lewat dari arah berlawanan. Ada truk yang membawa muatan berupa kayu, bahan bangunan, hasil kebun dan lain-lain. Ada mobil pribadi dan mobil angkutan yang membawa penumpang dari Maybrat ke Sorong. Kami juga berpapasan dengan pengendara motor yang berboncengan. Atau searah di depan kami lalu berbelok ke tempat lain.
Saya terpukau oleh pemandangan hutan tropis nan eksotis. Mulai dari Distrik Klamono, Kabupaten Sorong hingga Distrik Salkma, Kabupaten Sorong Selatan. Beragam vegetasi membentuk kerapatan hutan. Menutupi perbukitan, lembah, hingga tanah datar di sepanjang ruas kiri kanan jalan yang dilalui kendaraan. Sesekali saya harus mengeluarkan handphone untuk memotret atau memvideokan pemandangan di balik kaca jendela.
Saat melaju dengan kendaraan di siang hari, tak jarang dapat ditemukan berbagai hewan liar seperti babi hutan, rusa, soasoa, ular, tikus tanah, hingga berbagai jenis burung dan kupu-kupu yang melintas. Pemandangan ini memberi kesan kondisi keanekaragaman hayati (biodiversity) di kawasan ini masih alami.
Meski begitu, di beberapa area seperti di Distrik Aimas, Mariat Gunung, Klamono hingga Distrik Klasafet, Kabupaten Sorong, bertahun-tahun ribuan hektar hutan sudah berubah atau dikonversi ke peruntukan lain. Menjadi lahan sawit, area logging, lahan pemukiman dan area eksplorasi minyak bumi.
Eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang masif di wilayah ini oleh pihak luar, tak menyisakan manfaat berarti bagi peningkatan kehidupan sosial ekonomi warga lokal –suku Moy Legin dan Moy Klabra. Sejauh ini pembukaan jalan trans tidak hanya bermanfaat membuka isolasi wilayah, tapi juga menjadi jalan masuk eksploitasi SDA berupa hasil hutan, tambang mineral, migas, hingga bisnis lain yang cenderung merugikan masyarakat lokal.
Kami juga melewati sungai (kali) yang airnya jernih dan di atasnya telah dibangun jembatan berkonstruksi baja atau kayu. Kali Klamono adalah sungai terbesar yang melintasi jalan trans Kota Sorong, Sorong Selatan dan Maybrat. Sungai sepanjang 242 kilometer ini dulunya menjadi salah satu jalur penghubung antarwilayah Sorong, Teminabuan (ibu kota Sorong Selatan) dan Maybrat, sebelum jalan darat dibuka.
Sekarang jalur penghubung di tiga wilayah ini sudah bisa diakses dengan jalan darat, jalur laut dan udara. Dengan begitu, mempermudah mobilitas warga, pengangkutan barang dan menunjang aktivitas ekonomi. Jalan trans yang dibuka membelah hutan belantara yang mengisolasi wilayah Sorong, Sorong Selatan dan Maybrat, kini usianya sudah belasan tahun (2023).
Sebagian besar telah beraspal. Namun ukuran jalan masih relatif sempit. Para pengendara yang melintasi jalan ini harus berhati-hati. Misalnya, saat berpapasan dengan kendaraan lain di tikungan, tanjakan terjal, turunan curam atau saat mencoba mendahului. Di beberapa wilayah tertentu juga terdapat lereng dan jurang di sisi kiri kanan badan jalan.
Kondisi jalan pun berkelok-kelok, meliuk dan berliku. Sopir bus yang membawa kami terus berpacu dengan waktu. Setelah separuh perjalanan sudah kami tempuh, sampailah kami di tempat pemberhentian untuk istirahat sejenak. Waktu di handphone saya menunjukkan pukul 2:05 siang.
Sopir kemudian menginstruksikan semua penumpang turun dari bus. Di lokasi pemberhentian ini terdapat pasar tradisional yang berada di Kampung Mlabolo, Distrik Salkma, Kabupaten Sorong Selatan. Ini merupakan tempat pemberhentian utama bagi para pelintas jalan trans Sorong-Maybrat.
Pasar tradisional ini berupa pondok-pondok jualan yang berjejer di pinggir jalan. Disini kita bisa membeli aneka panganan alami khas Papua yang sudah dimasak seperti; keladi bakar, jagung bakar, pisang bakar, ikan bakar atau daging bakar. Kadang ada daging yang dimasak dalam bambu atau kulit kayu. Semuanya dijual mama-mama Papua yang berasal dari suku Tehit, kerabat dekat suku Maybrat.
Mereka juga menjual hasil kebun seperti; keladi, singkong, betatas (ubi jalar), daging segar hasil buruan, sayuran, daun gatal, hingga buah-buahan. Kadang bisa dijumpai ukiran dan anyaman noken tradisional. Semua ini cukup membantu mereka yang melintas dan ingin sekedar mengganjal perut.
Saat bus kami berhenti di tempat ini, tampak beberapa mama Papua sedang membakar jagung, pisang dan keladi. Anak-anak mereka duduk disamping menemani atau bermain. Ada juga pemandangan miris. Disamping pondok-pondok jualan di pasar tradisional ini, terlihat sampah plastik menumpuk dan berserakan. Ini adalah sampah yang dibawa para pelintas lalu dibuang begitu saja ketika singgah.
Di lokasi itu terdapat sebuah warung kecil tempat para penumpang bisa makan, membeli air minum, minum kopi, membeli makanan ringan dan beristirahat sejenak. Warung ini milik warga pendatang (non Papua) yang mencoba mengais rezeki. Warung dan pasar tradisional ini sudah eksis berdampingan sejak jalan trans penghubung kota Sorong, Sorong Selatan dan Maybrat dibuka.
Tidak ada toilet di tempat pemberhentian ini. Bagi mereka yang kepingin pipis dan membuang hajat, bisa langsung menuju ke belakang warung. Mengendap di balik rimbunan pepohonan, lalu menyelesaikan tugas. Tapi hati-hati saat melangkah. Kita bisa saja menginjak kotoran manusia yang sudah berbau busuk dan tertutup di balik dedaunan kering.
Di belakang warung ini mengalir sebuah anak sungai yang airnya sangat jernih. Kondisi hutan di sekelilingnya juga masih lebat dan alami. Ada sebuah pondok di seberang sungai. Sehabis membuang air, mata saya pun terbelalak melihat beberapa anggrek hutan yang menempel di beberapa pohon yang dahannya menjulur ke pinggir sungai. Saya sempat memotret keunikan ini dengan handphone.
Setelah beristirahat selama kurang lebih 15 menit, sopir menginstruksikan seluruh penumpang masuk kembali ke bus. Sebelum menuju bus, saya sempat membeli sebotol kecil minuman dingin Coca-cola yang harganya 5000 rupiah. Kalau di kota, harganya sekitar 3500 rupiah. Tapi tak apalah, ini di luar kota. Yang penting bisa membunuh dahaga untuk melanjutkan perjalanan ke Maybrat.
Senja Menyambut
Pada 2006 saat saya melintasi jalan trans dari Kota Sorong ke Maybrat, jalan yang kami lalui masih berbentuk gusuran alat berat yang cukup sulit diterobos. Jalan juga bergelombang dan becek ketika hujan turun. Kalau panas terik menerpa, jalanan pun berdebu dihempas kendaraan yang melintas. Hanya sebagian ruas jalan tertentu yang dihampar bebatuan halus dan batu kapur.
Sejak Presiden Jokowi memimpin Indonesia dua periode, jalan ini sebagian besar telah ditingkatkan kualitasnya menjadi jalan cor semen atau beraspal melalui proyek jalan nasional antar kabupaten. Inilah jalan trans yang menghubungkan Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan dan Maybrat.
Belakangan ruas jalan trans di wilayah Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya, diperluas dengan menghubungkan Manokwari, Tambrauw, Maybrat, Sorong Selatan, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong. Jarak keseluruhannya mencapai 590 kilometer. Sebagian masih berupa jalan kasar dengan kondisi medan yang rumit.
Keseluruhan ruas jalan itu hanya bisa diterobos kendaraan penjelajah off-road 4WD (4 wheel drive) berban besar. Agar tetap kokoh menaklukkan medan yang rumit. Juga butuh waktu tempuh yang melelahkan jiwa dan raga. Jika ingin ditempuh dalam waktu 12 jam atau lebih tanpa istirahat, diperlukan kecepatan rata-rata 80 hingga 100 km per jam.
Kembali ke bus yang sedang membawa kami menuju Maybrat. Saat beranjak dari tempat pemberhentian pasar tradisional di Kampung Mlabolo, wilayah Sorong Selatan, saya duduk termenung di kursi menikmati pemandangan alam dibalik kaca jendela. Bus kami telah melewati rangkaian perkampungan di wilayah Kabupaten Sorong Selatan. Saya begitu terkesima menyaksikan pemandangan 10 tahun lalu yang sudah berubah.
Jalan raya yang kami lalui sudah lumayan bagus dibanding 10 tahun lalu. Perkampungan yang dulunya berjejer rumah-rumah tradisional dan setengah permanen, kini berganti rumah permanen dan modern. Ada gedung bangunan sekolah yang tampak bagus dari luar. Jaringan tiang listrik juga saling menyambung membentuk rangkaian yang memberi penerangan bagi kampung-kampung di sepanjang jalan. Banyak fasilitas yang bertambah atau berubah.
Bus kami juga melewati perkampungan dengan sedikit rumah warga. Ada kebun-kebun tradisional dan pondok atau rumah kebun. Kebun ini ada yang dipagar dan dibiarkan saja. Sesekali ada warga yang melintas saat pulang kebun, berdiri atau duduk di pinggir jalan bersama anjing berburu mereka.
Bus kami terus berpacu dengan jarak dan waktu. Kami akhirnya sampai di Kampung Pasir Putih dan Welek, Distrik Fokour, wilayah Kabupaten Sorong Selatan yang berbatasan langsung dengan wilayah Maybrat. Objek alam penanda perbatasan kedua kabupaten yang dulunya menyatu ini disebut ‘batu payung”. Ini berupa batu karang besar yang menyembul di permukaan tanah menyerupai payung.
Di tempat itu terdapat pos pemantau jalan lintas perbatasan. Pos ini biasanya diisi anggota polisi, polisi pamong praja dan anggota TNI. Dulu setiap kendaraan dari Sorong yang melintas perlu berhenti dan diperiksa. Bila kedapatan membawa minuman keras (miras) atau benda terlarang, barang akan disita.
Selepas pos ini, kami memasuki wilayah Kabupaten Maybrat. Kampung pertama dan kedua yang dilewati adalah Kampung Yaboh dan Sehu, berada di Distrik Ayamaru Barat. Karakteristik geofisik wilayah Maybrat umumnya berupa perbukitan berkapur (karst) dengan sedikit lapisan tanah di permukaan. Vegetasi di atasnya pun berupa lumut, semak belukar, beragam rerumputan, tumbuhan pakis dan pohon berkayu dengan ketinggian sedang.
Struktur dan kandungan tanah yang berada di atas batuan karst biasanya tipis dan kurang subur bagi lahan pertanian. Meski begitu, perbukitan karst menyediakan mata air bagi beragam sungai di wilayah Maybrat yang airnya sebening kristal. Beberapa sungai inilah yang menjadi penyulai air bagi dua danau legendaris di Maybrat; danau Ayamaru dan danau Uther.
Di sepanjang jalan yang kami lalui dengan kendaraan, juga tampak kembang-kembang Angrek Tanah berwarna jingga yang menyeruak memamerkan kemolekannya. Selain itu menghampar ilalang, semak belukar dan rumput liar. Di antara aneka vegetasi ini, ada satu jenis rerumputan liar khas Maybrat yang disebut bomira.
Memasuki wilayah Maybrat, waktu di handphone saya menunjukkan pukul 3:20 sore. Jalan raya beraspal disini tampak hitam pekat dan mulus. Ada garis lurus berbentuk cat pembatas di tengah maupun di kedua sisi jalan. Membuat kendaraan apa pun dapat melaju dengan lezat. Ada deretan rumah-rumah warga yang kelihatan modern dan megah. Gereja, gedung sekolah dan fasilitas lain yang dibangun pun tak kalah megah.
Pemandangan ini membuat saya kagum. Saat 10 tahun lalu saya ke Maybrat, tidak tampak seperti ini. Bus kami terus melaju melewati sejumlah kampung dan kebun-kebun tradisional di tepian danau Ayamaru. Dari balik kaca jendela, siluet cahaya senja berwarna keemasan memantul. Pertanda sang surya hendak beranjak ke pelukan cakrawala. Bias-bias cahaya senja juga dipantulkan muka air danau Ayamaru yang tampak elok di kejauhan.
Bus kami pun memutar haluan melewati lapangan terbang Kambuaya menuju Kampung Jitmau. Di sini ada penumpang yang turun. Selanjutnya bus menuju Kampung Fategomi untuk menurunkan beberapa penumpang lagi. Perempuan yang duduk di sebelah saya turun bersama anaknya di kampung ini. Saat turun, mereka melambaikan tangan ke arah saya.
Bus kembali melanjutkan perjalanan menuju Kumurkek. Melewati sejumlah kampung di wilayah Aitinyo hingga tiba di Kampung Susmuk, Distrik Aifat. Sejumlah penumpang turun disini. Bus pun melanjutkan perjalanan terakhir ke pusat Kampung Kumurkek yang menjadi ibukota Kabupaten Maybrat. Hari sudah beranjak gelap disertai hujan rintik-rintik, guntur dan petir. Pikiran saya mulai diliputi rasa cemas.
Nanti saya akan menumpang di mana? Apakah di Kumurkek ada penginapan? Apakah ada warga yang bisa memberi saya tumpangan? Apakah ada warga yang bisa menyewakan kamar rumahnya? Lalu nanti saya makan bagaimana? Tidak ada orang yang saya kenal. Semua ini berkecamuk di kepala saya.
Tak lama bus kemudian memasuki wilayah Kampung Kumurkek. Dari jauh tampak bangunan Kantor Bupati Maybrat berlantai dua berdiri megah di atas sebuah bukit. Kombinasi temaram cahaya lampu putih dan kuning yang menyala membuat wajah bangunan ini mirip gedung putih, tempat presiden Amerika Serikat (AS) bekerja.
Bus selanjutnya akan mengakhiri perjalanan di pusat kampung Kumurkek yang berjarak sekitar dua kilometer dari kantor bupati. Semua penumpang terakhir akan turun. Tanpa pikir panjang, saya meminta sopir menurunkan saya di depan kantor bupati. Setelah turun, saya bergegas menenteng tas berjalan menuju kantor bupati yang berjarak 30 meter dari bibir jalan. Saat itu hujan rintik-rintik masih mengguyur dan langit Kumurkek mulai gelap.
Di depan Kantor Bupati Maybrat, ada sebuah mobil hitam terparkir tepat di pelataran depan pintu masuk utama. Ketika mendekat, saya bisa menerka kalau ini mobil penjabat bupati Maybrat, Bernhard Rondonuwu. Pria asal Manado, Sulawesi Utara yang sejak 23 Agustus 2022 dilantik menggantikan bupati Bernard Sagrim yang purna masa jabatan. Ia dikawal beberapa orang pria non Papua. Mereka kemudian bergerak entah kemana.
Di pelataran depan pintu masuk ini, ada sejumlah personel Satpol PP yang sedang berjaga. Mereka adalah beberapa pria Papua dan umumnya berasal dari Maybrat. Saya lalu berjalan ke arah mereka dan mengucapkan selamat malam. Seorang dari mereka yang duduk berjaga disamping pintu dan belakangan saya tahu bermarga Kocu, mempersilahkan saya masuk.
Setelah masuk, saya duduk di kursi yang berada di ruang utama. Pria Maybrat bermarga Kocu ini kemudian menghampiri saya. Ia mungkin mengira saya seorang anggota TNI yang baru tiba dalam kondisi kehujanan. Soalnya saya mengenakan celana, topi dan menenteng tas yang semuanya berwarna hijau tua. “Mari, bisa taruh barang-barang di ruang sebelah. Ada teman-teman punya barang juga di dalam,” kata dia dengan ramah sambil mengarahkan saya ke ruangan yang dimaksud.
Ini adalah ruangan yang nyaman. Dindingnya berwarna coklat cerah. Ada meja, kursi dan lemari gantung penyimpan barang. Semuanya tampak masih baru. Di dinding bagian atas terpasang air conditioner (AC) yang membuat ruangan begitu adem. Saya sempat menggigil setelah menaruh tas dan barang bawaan di dalam ruangan ini. Soalnya sudah kehujanan.
Setelah itu, saya keluar lagi dan duduk bersama beberapa anggota Satpol PP di ruang utama dekat pelataran depan. Saya sempat memperkenalkan diri dan berbincang dengan mereka. Setelah itu seorang diantara mereka menjelaskan posisi toilet dan kamar mandi di lantai bawah, jika saya ingin mandi. “Di atas juga ada kamar mandi dan toilet,” kata dia.
Saya lalu duduk sebentar. Mengamati suasana di dalam gedung kantor bupati nan megah ini. Ada pilar-pilar utama gedung di sisi luar maupun dalam. Ada ornamen, ukiran, perabot hingga struktur bangunan gedung pun dirancang dengan begitu elegan. Setelah itu saya kembali ke ruangan tempat barang saya disimpan. Mengambil shampo, handuk, sikat dan pasta gigi, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Setelah mandi, saya kembali ke ruang depan tempat para anggota Satpol PP berjaga. Kami lalu bercerita panjang lebar. Saya juga menanyakan mereka tentang situasi Maybrat secara umum, kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan lain-lain. Tak terasa, waktu pun berlalu begitu cepat hingga pukul 11 malam. Di luar hujan masih terus mengguyur.
Rasa kantuk kian menyiksa. Anggota Satpol PP yang menjadi teman diskusi, lalu mempersilahkan saya untuk beristirahat di ruang tempat saya menyimpan barang. Saya pun pamit. Di dalam ruangan ini ada sebuah tikar berbahan karet dan dua kasur yang disandarkan ke dinding. Tikar dan kasur ini biasanya dipakai tidur oleh anggota Satpol PP yang berjaga di malam hari.
Saya membawa tikar dan sebuah kasur yang agak besar. Kasur ini masih baru dan empuk. Mengalas tikar di lantai terlebih dahulu, lalu membentangkan kasur di atasnya. Sebelum berbaring, tak lupa saya men-charge handphone. Mematikan lampu dan AC, lalu merebahkan diri di atas kasur.
Sebelum terlelap, saya sempat berdoa mengucap syukur. Terima kasih, Tuhan. Setelah sekian lama melanglang buana ke berbagai tempat di dalam dan luar negeri, saya akhirnya bisa kembali menginjakkan kaki dengan selamat di tanah leluhur saya, Maybrat. Amin!