KPK akhirnya menahan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Prof Hasbi Hasan dalam dugaan makelar kasus. Hakim dari Pengadilan Agama tersebut menjadi orang ke-17 yang ditahan terkait skandal terbesar dalam sejarah hukum Indonesia itu.
Bau Kentut
Makelar kasus di pengadilan selama ini menjadi rumor belaka. Bahkan, banyak yang menyebutnya seperti bau kentut. Ada baunya, tapi tidak bisa ditelusuri siapa yang kentut, apalagi menangkap pelakunya.
Bau kentut telah lama tercium di MA. Pada 1980-an, pemerintah menggelar Operasi Penertiban (OPSTIB) yang ditujukan ke lembaga peradilan dengan target membongkar jaringan korupsi. Dari tahun inilah muncul istilah ‘mafia peradilan’. Akademisi dari Belanda, Sebastiaan Pompe menyebut ‘jika sebelumnya harus menggunakan lentera untuk mencari hakim yang korupsi, maka kini diperlukan lentera untuk mencari hakim yang jujur dan bersih’.
Memasuki 1990-an, kolusi di MA makin terang-terangan. Hal itu tercermin saat Ketua Muda MA bidang Pidana Umum, Hakim Agung Adi Andojo membongkar skandal kolusi putusan kasasi di kantornya. Anehnya, Adi Andojo malah yang dikucilkan oleh koleganya. Puncaknya, Ketua MA Soerjono dan pimpinan MA menyurati Presiden agar memecat Adi Andojo dengan alasan Adi Andojo mengungkap keburukan MA ke pihak luar.
Pasca Reformasi, mafia peradilan membuat Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas mengusulkan kocok ulang seluruh hakim agung pada 2006. Usulan ini membuat MA marah besar. Belasan hakim agung menggugat kewenangan KY ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan. Gigi KY langsung rontok.
Dari Kuningan, Jakarta Selatan operasi menangkap bau kentut terus dilakukan. Sayang, acap hanya berakhir di parkiran atau menjaring hakim tingkat bawah. Seperti PNS MA Djody Supratman dan Andri Tristianto Sutrisna. Puluhan hakim yang dibekuk hanya hakim-hakim di daerah.
Jejaring mafia peradilan sangat rapi dan jejaringnya berlapis. Seperti di kasus Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PP PN Jakut) Rohadi yang mengoperasikan kendali pengaturan perkara membentang dari Papua hingga ujung Sumatera. Lagi-lagi KPK hanya berhenti di Rohadi. Padahal ‘Rohadi koneksi‘ cukup terang petunjuknya.
Berbulan-bulan gurita Sekretaris MA Nurhadi juga tidak bisa dituntaskan hingga akhirnya KPK menangkap PNS MA itu pada 2020. Nurhadi belakangan divonis 6 tahun penjara. Nurhadi membuka fakta bau kentut itu ada dan bisa ditangkap. Bau kentut bukan rumor belaka. Bau kentut benar adanya.
Tidak lama berselang, KPK menuntaskan operasi tangkap bau kentut dengan menahan dua hakim agung, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh serta sejumlah jejaringnya jantung peradilan. Termasuk Prof Hasbi Hasan, orang ke-17 di skandal itu.
Pentingnya Memberantas Mafia Peradilan
Salah satu amanat Pancasila dan UUD 1945 adalah negara wajib memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan salah satu tulang punggung keadilan adalah yudikatif/MA dan jajaran di bawahnya. Baik perkara pidana, perdata, pajak, perizinan hingga soal kawin-cerai. Adalah kiamat bagi sebuah negara apabila pengadilan keropos dan korup.
Dalam demokrasi, putusan-putusan hakim menjadi pilar yang tidak bisa diganggu gugat. Dikenal juga asas hanya menyebabkan untuk kebenaran yang kita miliki putusan hakim harus dianggap benar. Sejatinya, hal itu dibuat agar keadilan bisa dibuat secara jernih dan independen, tidak dipengaruhi politik, asumsi, dan prasangka.
Dalam kenyataannya, independensi hakim menjadi pisau bermata dua. Di tangan hakim baik, keadilan bisa ditegakkan. Di tangan hakim korup, keadilan menjadi barang mahal. Maka Prof Ronny Nitibaskara menyebut kejahatan yang sempurna hanya bisa dibuat oleh hakim. Di tangan hakim korup, putusan menjadi kejahatan yang sempurna. Kewenangan ini akan menimbulkan multitafsir tatkala ‘kebebasan’ tersebut dianggap oknum yang bersangkutan sebagai keleluasaan untuk melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri dengan memanfaatkan hukum sebagai alatnya (law as tool of crime).
Perjalanan Masih Panjang
Setelah 25 Tahun reformasi, tata kelola MA dan pengadilan menjadi elemen yang nyaris terlupakan. Reformasi lebih banyak menitikberatkan pada pembenahan legislatif dan eksekutif. Reformasi yang memberikan otoritas kekuasaan yudikatif kepada MA malah menjadi masalah baru.
Dalam kunjungan ke Osaka pada 2017, saya mendapati kekagetan para pebisnis Jepang bahwa ada hakim di Indonesia ditangkap karena korupsi. Hal yang tidak pernah terjadi di Jepang. Bahkan membayangkan saja, mereka tidak pernah.
Oleh sebab itu, KPK jangan berhenti di Hasbi Hasan atau Nurhadi. Sebagai Sekretaris MA, keduanya tidak berwenang mengadili karena bukan pengetok palu perkara. Alur ke majelis hakim harus dibuka secara terang benderang. Penyidik KPK harus cerdik dalam taktik dan teknik untuk mengurainya.
Pemberantasan mafia peradilan merupakan langkah prioritas dan terdepan sebagai amanat UUD 1945 untuk meningkatkan kepercayaan publik dan masyarakat internasional. Sebab, investor asing tidak akan nyaman menanamkan modalnya di Indonesia bila bau kentut masih tercium keras di pengadilan.
Untuk pencegahan, langkah konkret dan cepat dari pemerintah sangat ditunggu dan tidak berhenti dengan membuat tim/satgas. Terakhir, sistem satu atap MA yang diberlakukan pasca Reformasi juga sudah saatnya ditinjau ulang karena MA kini bukan lagi benteng keadilan, tapi berubah jadi belantara kegelapan.