Bamsoet Soroti Pertanggungjawaban Hukum Dokter Spesialis

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjadi salah satu penguji dalam ujian sidang tertutup mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Borobudur Prasetyo Edi yang menjabat Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Ujian sidang ini digelar di Universitas Borobudur, Jakarta.

Dalam sidang ini, Prasetyo Edi mengangkat tema disertasi tentang ‘Pertanggungjawaban Hukum Dokter Spesialis yang Tidak Memiliki Kompetensi Penyebab Kematian dan Morbiditas pada Pasien’. Bamsoet berharap hadirnya disertasi ini dapat bermanfaat bagi penyusunan peraturan dalam RUU Kesehatan.

“Dengan telah disahkannya RUU Kesehatan oleh pemerintah dan DPR RI maka kehadiran penelitian ini bisa menjadi nilai tambah. Khususnya dalam menyusun peraturan turunan dari berbagai hal yang sudah diatur dalam RUU Kesehatan tersebut. Misalnya terkait perlindungan terhadap dokter dalam menjalankan tugasnya dengan tetap menjamin hak-hak pasien sebagai wujud implementasi pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (13/7/2023).

Dalam kesempatan ini, Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Borobudur ini juga menyoroti soal pertanggungjawaban hukum dokter spesialis. Ia menjelaskan pada penelitian tersebut, terdapat salah satu kesimpulan yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah, yakni terkait kompetensi dokter.

Pada penelitian, disebutkan bahwa dokter dapat dianggap tidak kompeten dan dapat dituntut pertanggungjawaban hukum akibat kematian pasien bila dalam melakukan praktik kedokteran, dokter melanggar kaidah kompetensi pada disiplin kedokteran. Hal ini termasuk melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten, tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompetensi yang sesuai maupun mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi yang sesuai.

Adapun putusan inkrah MKDDKI perihal pelanggaran nonkompetensi yang diputus bersalah pada 2020-2023, mencatat ada 34 dokter yang diputus melanggar disiplin kedokteran. Jumlah ini terdiri dari 23 dokter spesialis dan 11 dokter umum.

“Karena itu, negara harus hadir dalam pengaturan hukum antara dokter dan pasien. Di sinilah pentingnya kehadiran dan kewenangan yang kuat dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),” jelasnya.

Dalam penelitian ini, kata Bamsoet, Edi juga menyoroti soal perkembangan teknik kedokteran. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan undang-undang spesifik yang membahas tentang perkembangan teknik kedokteran dalam membantu proses pengobatan pasien.

Bamsoet menyebut undang-undang juga diperlukan untuk memastikan perkembangan pemanfaatan teknik kedokteran agar sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai luhur etika kedokteran berdasarkan kode etik kedokteran dan sumpah dokter.

“Pengaturan yang diatur tersebut misalnya, pengesahan teknik kedokteran yang dapat digunakan dalam praktik kedokteran, persyaratan teknis penggunaan teknik kedokteran, persyaratan administrasi dalam penggunaan teknik kedokteran, kualifikasi dokter yang dapat menggunakan teknik kedokteran tersebut, pengawasan dalam penggunaan teknik kedokteran, batasan wewenang dokter dalam menggunakan teknik kedokteran dalam pengobatan pasien serta mengembangkan kebijakan dan prosedur administratif dalam kaitannya menggunakan teknik kedokteran,” pungkasnya.

Sebagai informasi, turut hadir para penguji internal yaitu, Rektor Universitas Borobudur Prof. Bambang Bernanthos, serta Dr. Ahmad Redi. Hadir pula penguji eksternal yakni, Prof. Zainal Arifin Husein. Promotor Prof. Faisal Santiago, dan Ko-Promotor Dr. St. Laksanto Utomo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *