Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian meminta daerah dengan tingkat inflasi tinggi segera melakukan langkah tepat agar laju inflasi terkendali. Pasalnya, inflasi tersebut dapat merusak struktur ekonomi dan menimbulkan ketidakstabilan harga pangan di pasar.
“Meskipun inflasi membaik, secara nasional 3,52 persen, minggu lalu sudah dijelaskan oleh BPS bahwa angka di tingkat daerah juga terjadi variasi, ada yang rendah sekali, dan kita berterima kasih untuk itu, tapi juga ada (daerah) yang tinggi, ada yang sampai 6 persen, 5 persen,” ujar Tito dalam keterangan tertulis, Selasa (11/7/2023).
Dirinya menyebutkan ada beberapa wilayah dengan angka inflasi yang tinggi seperti Merauke (5,91%), Timika (5,75%), Kotabaru (5,04%), Luwuk (4,90%), dan Manokwari (4,1%).
“Ada juga yang rendah, antara 1 sampai dengan 2,86 persen, Jambi 1,96 persen yang terendah, Gorontalo, Sulbar, Riau, Sumut, Kepri, Aceh, Bangka Belitung, Belitung dan Sumsel,” imbuhnya.
Sementara itu, Tito menyerukan agar daerah dengan tingkat inflasi rendah dapat terus dipertahankan. Inflasi rendah dan stabil dianggap merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Harapannya, hal tersebut dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, inflasi tinggi justru dapat membawa dampak negatif pada sosial ekonomi masyarakat.
“Nah jadi ini rekan-rekan, jadi variasi, jadi tidak membuat kita cepat berpuas diri, terutama daerah yang tinggi, daerah yang rendah terus dipertahankan, daerah yang tinggi harus membuat gerakan,” jelas Tito.
Khusus daerah berinflasi tinggi, Tito mengimbau agar segera mencari akar permasalahannya terutama dari segi supply dan demand.
“Upaya untuk mencari masalahnya apa, suplai yang kurang, barangnya yang memang kurang, atau langka atau distribusinya yang tidak jalan, sehingga ada penumpukan, atau mungkin transportasi yang terhambat,” paparnya.
Sebagai informasi, beberapa wilayah di Indonesia dengan tingkat inflasi tinggi di antaranya Maluku (6,07%), Maluku Utara (5,37%), Jawa Timur (4,59), Nusa Tenggara Timur (4,58%), Sulawesi Selatan (4,43%), Papua Barat (4,30%), Kalimantan Selatan (4,30%), Daerah Istimewa Yogyakarta (4,20%), dan Papua (4,13%).