Jakarta –
Awal 2024 nanti, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa akan genap berusia satu dekade. Undang-Undang Desa diterbitkan pada 15 Januari 2014, mendekati pengujung periode kedua kepemimpinan Presiden SBY. Kini menjelang akhir periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, bagaimana pelayanan publik di desa?
Otonomi Desa
Menengok ke belakang, pelaksanaan otonomi desa pada masa awal reformasi masih terkungkung dalam bingkai pemerintahan daerah. Pengaturan desa dimasukkan ke Undang-Undang Pemerintahan Daerah, baik ketika berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Praktis desa hanya diatur secara spesifik dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Padahal sebelum era reformasi, desa diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, meskipun saat itu bobot otonominya sangat kecil akibat pemerintahan sentralistik Orde Baru.
Lahirnya Undang-Undang Desa dapat dipandang sebagai penegasan atas pengakuan otonomi desa sesuai Pasal 18 UUD NRI 1945 sebelum amandemen atau Pasal 18B pasca amandemen. Dalam konsideran Undang-Undang Desa disebut bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD NRI 1945.
Otonomi desa ini tercermin dari definisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Desa).
Kini menjelang satu dekade Undang-Undang Desa patutlah kita tengok buah dari otonomi desa itu. Indikatornya dapat merujuk pada salah satu tujuan pengaturan desa yaitu meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum (Pasal 4 huruf f Undang-Undang Desa). Tulisan ini akan membahas lebih lanjut kondisi pelayanan desa dan perangkat desa sebagai pelaksana pelayanan di desa.
Signifikansi Pelayanan Desa
Pelayanan publik merupakan bukti kehadiran negara di tengah-tengah warganya. Desa sebagai bagian dari sistem pemerintahan NKRI pada lingkup yang paling kecil hendaknya dapat merepresentasikan hal itu. Mengingat posisinya yang berada langsung di tengah-tengah masyarakat, desa dipandang memiliki peran yang cukup besar dalam penyelenggaraan pelayanan publik bagi masyarakat.
Pelayanan publik itu sendiri diperlukan guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, sejalan dengan tujuan bernegara yang termuat dalam konstitusi. Terdapat setidaknya dua signifikansi pelayanan desa. Pertama, desa sebagai pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat menjadi ujung tombak pelayanan bagi publik.
Banyak pelayanan yang diberikan oleh desa bersifat pengantar atau rekomendasi untuk pelayanan lebih lanjut oleh penyelenggara pelayanan publik lainnya di tingkat daerah maupun pusat. Rekomendasi tersebut tidak jarang sifatnya mutlak, dalam arti penyelenggara pelayanan lainnya tidak dapat memproses pelayanan lebih lanjut tanpa adanya pengantar dari desa.
Dalam pelayanan tertentu oleh penyelenggara pelayanan publik lainnya, pemerintah desa dianggap paling mengetahui subjek maupun objek pelayanan. Contohnya, Surat Pernyataan Tidak Sengketa dari desa menjadi syarat pengurusan surat-surat tanah ke Kantor Pertanahan.
Kedua, desa merupakan penyelenggara pelayanan publik yang jumlahnya sangat banyak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2021), jumlah desa di Indonesia adalah 83.843 desa. Jumlah penyelenggara pelayanan di desa bisa berlipat apabila setiap desa memiliki setidaknya satu Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des).
BUM-Des dapat dilihat sebagai entitas penyelenggara pelayanan publik sendiri sebagaimana BUMN dan BUMD. Jumlah ini sangat besar dan memerlukan upaya yang keras untuk mewujudkan desain dan implementasi pelayanan publik yang berkualitas di desa. Apalagi, 83.843 desa yang tersebar di seluruh wilayah tanah air itu memiliki keragaman kondisi geografis, sosial, budaya, dan kekhasan lainnya.
Pelayanan desa memang signifikan. Tidak mengherankan apabila dalam rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik pengganti Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disusun Kementerian PANRB (2022) terdapat pengaturan dan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah desa, serta dapat didelegasikan kepada BUM-Des. Dalam RUU yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) itu, nantinya kepala desa akan berperan sebagai pembina penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat desa.
Kondisi Pelayanan Publik di Desa
Berdasarkan Undang-Undang Desa, kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat.
Permendagri Nomor 2 Tahun 2017 tentang Standar Pelayanan Minimal Desa (SPM) menyatakan bahwa SPM Desa meliputi penyediaan dan penyebaran informasi pelayanan, penyediaan data dan informasi kependudukan dan pertanahan, pemberian surat keterangan, penyederhanaan pelayanan, dan pengaduan masyarakat. Pejabat penyelenggara SPM Desa meliputi kepala desa, sekretaris desa, kepala seksi yang membidangi pelayanan administrasi, dan perangkat desa.
Dalam implementasinya, penyelenggaraan pelayanan publik oleh desa menghadapi sejumlah tantangan. Hasil kajian Ombudsman Republik Indonesia (2018) terhadap beberapa pelayanan publik dasar di desa telah mengidentifikasi beberapa faktor penyebab belum optimalnya pelayanan desa. Faktor-faktor itu meliputi letak geografis dan tipologi desa, kapasitas SDM aparatur desa, penganggaran Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, partisipasi masyarakat, serta pembinaan dan pengawasan dari stakeholders terkait.
Pemerintah desa umumnya belum mengelola pengaduan pelayanan publik sesuai aturan, padahal substansi pengaduan terkait perdesaan cukup signifikan yaitu sekitar 6,7% dari pengaduan yang diterima Ombudsman RI (Laporan Tahunan Ombudsman RI 2022). Hasil penelusuran saya (2023), pemerintah desa umumnya mengakui kapasitas SDM aparatur desa merupakan masalah krusial.
Pelayanan prima belum dapat dilakukan secara maksimal dikarenakan kelemahan kapasitas aparatur desa dalam penguasaan teknologi informasi dan manajemen pelayanan (Desa Sumber Klampok, 2018). SDM aparatur dalam hal ini tentu saja mengarah kepada kepala desa dan perangkat desa sebagai pejabat pelaksana pelayanan.
Kerentanan Perangkat Desa
Sesuai Undang-Undang Desa, perangkat desa terdiri atas sekretaris desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Mereka bertugas membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, dan bertanggung jawab kepada kepala desa. Perangkat desa yang diangkat harus memenuhi persyaratan yang ditentukan perundang-undangan, serta hanya dapat berhenti karena tiga alasan yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan apabila telah berusia 60 tahun, berhalangan tetap, tidak lagi memenuhi persyaratan, atau melanggar larangan perangkat desa.
Kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa memang ada pada kepala desa, namun setelah lebih dulu dikonsultasikan dengan camat atas nama bupati. Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 telah mengatur cukup rinci mekanisme pengangkatan perangkat desa. Pertama-tama, kepala desa membentuk tim penjaringan dan penyaringan. Kemudian tim tersebut melakukan proses penjaringan dan penyaringan paling lama dua bulan sejak jabatan perangkat desa kosong.
Hasil penjaringan dan penyaringan tersebut sekurang-kurangnya dua orang calon perangkat desa, kemudian dikonsultasikan kepada camat untuk dimintakan rekomendasi dalam waktu paling lama tujuh hari. Rekomendasi camat dapat berupa persetujuan yang ditindaklanjuti oleh kepala desa dengan SK pengangkatan, atau berupa penolakan yang harus ditindaklanjuti kepala desa dengan melakukan penjaringan dan penyaringan kembali.
Begitu pula dalam mekanisme pemberhentian perangkat desa, kepala desa wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan camat dan mendapatkan rekomendasi camat. Dalam implementasinya di lapangan, pelaksanaan aturan tersebut tidak selalu mulus. Berdasarkan catatan Ombudsman RI, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan laporan masyarakat mengenai seleksi, pengangkatan, dan pemberhentian perangkat desa.
Sepanjang 2021, Ombudsman RI menerima 200 laporan mengenai perangkat desa, setara dengan 1% dari total laporan yang diterima tahun itu. Jumlahnya meningkat pada 2022 menjadi 516 laporan atau setara dengan 2% dari total laporan yang diterima. Permasalahannya beragam: pengangkatan tidak sesuai prosedur, pemberhentian tidak sesuai prosedur, pemberhentian massal merujuk hasil evaluasi kinerja, pemberhentian massal karena penyesuaian struktur organisasi dan tata kerja (SOTK).
Dalam beberapa kasus yang ditangani oleh Ombudsman RI, kepala desa mengabaikan peringkat hasil penjaringan dan penyaringan. Artinya, kandidat terbaik hasil seleksi tidak selalu jadi yang diangkat sebagai perangkat desa sehingga memicu keberatan dan pengaduan. Bahkan lebih parah lagi, ada kepala desa yang menganggap bahwa rekomendasi camat dalam pengangkatan dan/atau pemberhentian perangkat desa bukanlah sesuatu yang bersifat imperatif alias tidak wajib.
Alhasil, banyak pemberhentian yang dilakukan cacat prosedur dan diwarnai penyalahgunaan wewenang akibat kepala desa merasa berkuasa penuh, ada unsur like and dislike, ataupun karena perbedaan pendapat yang tajam. Seringkali ujung pangkalnya adalah peristiwa politik pemilihan kepala desa yang membuat kepala desa baru merasa perlu membawa “gerbong” pendukungnya jadi jajaran perangkat desa. Siklus itu terus berputar seiring pergantian kepemimpinan di desa enam tahun sekali.
Resolusi Kebijakan
Pelayanan desa sangat penting, begitu pula peran perangkat desa untuk mengoptimalkan pelayanan publik di desa. Tetapi perangkat desa itu sendiri dihadapkan pada situasi vulnerable. Pertama, perangkat desa rentan inkompetensi karena diangkat tanpa prosedur penjaringan, penyaringan dan pengangkatan yang benar. Kedua, perangkat desa rentan diberhentikan dari jabatannya oleh kepala desa secara tidak prosedural karena berbagai sebab.
Merujuk pengalaman dalam menangani kasus terkait perangkat desa, saya menawarkan dua resolusi kebijakan. Pertama, digitalisasi proses seleksi dan pengangkatan perangkat desa. Hal ini urgen dalam rangka meminimalisir tindakan di luar prosedur. Kita dapat belajar dari best practice digitalisasi proses rekrutmen ASN, salah satunya melalui Computer Assisted Test (CAT). Modernisasi proses rekrutmen ini penting sebagai langkah awal menjamin kompetensi perangkat desa, selain pengembangan kompetensi setelahnya.
Kedua, ketegasan dari bupati/wali kota, gubernur, dan Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangannya dalam melakukan pengawasan, pembinaan, dan evaluasi terhadap kepala desa. Pengalaman kami menangani kasus di salah satu kabupaten menunjukkan hal ini. Seorang kepala desa yang “bandel” sekalipun menjadi luluh dan patuh ketika bupati berkomitmen terus mendorong dan memberikan ketegasan termasuk ancaman sanksi apabila kepala desa tidak mematuhi prosedur pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa sesuai perundang-undangan.