Jakarta –
Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) mengkritik Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pemilu Legislatif 2024. PKPU kontroversial tersebut menurutnya menandakan kemunduran demokrasi.
PKPU Nomor 10 Tahun 2023 memuat pasal-pasal kontroversial. Pasal yang paling menonjol adalah soal dihapusnya masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana korupsi untuk maju pencalegan. Ini termaktub dalam Pasal 11 ayat 6 pada PKPU tersebut. Ini bertentangan dengan putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan No 12/PUU-XXI/2023.
“Menurut KMHDI, dengan adanya celah tersebut yang diakomodir dalam PKPU 10/2023 adalah kemunduran demokrasi dan menganggap kasus korupsi sebagai hal yang biasa,” kata Ketua Presidium PP KMHDI, I Putu Yoga Saputra, dalam keterangan tertulis, Rabu (31/5/2023).
Seharusnya KPU menyadari keinginan masyarakat Indonesia yang ingin melihat lembaga DPR diisi oleh orang-orang yang bersih dari korupsi sehingga bisa menghasilkan produk-produk legislasi yang terbebas dari praktik-praktik korupsi. Untuk itu KMHDI mendesak para pihak untuk kembali membicarakan revisi terhadap PKPU 10/2023. PKPU tersebut dinilai seperti memberi karpet merah bagi koruptor.
“Jika para terpidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri tanpa harus melewati masa jeda lima tahun, ini akan membahayakan lembaga DPR. Lembaga ini kemudian akan dicitrakan oleh masyarakat sebagai lembaga yang tidak bersih, sarang para koruptor sehingga berimplikasi pada citra DPR yang sebetulnya sudah turun akan makin turun,” terangnya.
Ada lagi pasal kontroversial di PKPU itu yakni pembulatan ke bawah dari syarat keterwakilan perempuan sebesar 30% (bila pecahan desimal kurang dari 0,5). Ini ada di Pasal 8 ayat 2 PKPU tersebut.
“Hadirnya Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 jelas bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, yaitu UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai payung hukum dari peraturan turunan dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Namun sangat disayangkan semangat untuk menghadirkan perempuan lebih banyak di parlemen dipatahkan oleh regulator itu sendiri,” kata I Putu Yoga Saputra.
KMHDI menyayangkan sikap KPU yang tidak mendorong perubahan PKPU itu setelah rapat dengan Komisi II DPR hingga Kemendagri di Parlemen, 17 Mei lalu. Maka, KMHDI sebagai komponen pemantau pemilu mendorong agar ada langkah hukum ke Mahkamah Agung (MA).
“KMHDI sebagai organisasi yang juga terdaftar sebagai Pemantau Pemilu pun mendorong agar PKPU 10/2023 dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung, mengingat dalam RDP oleh Komisi II DPR, Bawaslu, KPU, DKPP, dan Kemendagri sepakat tidak melakukan perubahan terhadap peraturan tersebut,” kata KMHDI.