Di tengah isu pemanasan global dan perubahan iklim yang tidak menentu, para petani di Dusun Pong Nombong, Desa Paleng, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, melakukan berbagai upaya untuk penyelamatan lingkungan khususnya pertanian.
Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah membuat pupuk organik cair untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian khusus padi. Mereka menghasilkan pupuk organik yang diolah dari bahan-bahan lokal yang ada di sekitar. Pengolahan pupuk organik itu dibimbing oleh salah seorang guru yang telah makan garam dengan pertanian organik.
Alhasil, di tahun 2023, mereka sudah beralih dari pupuk kimia ke organik yakni Jadam, Eco Enzym, dan Biosaka.
Petani Dusun Pong Nombong, Kecamatan Lembor, Antonius Kaus (63), Selasa (30/5/2023) menuturkan, sawah miliknya seluas setengah hektare, sebelumnya menggunakan pupuk kimia. Menggunakan pupuk kimia, harus merogo kocek hingga Rp 1.500.000 untuk menyuburkan padi.
“Satu musim, minimal enam karung pupuk kimia saya beli. Biayanya Rp 1.500.000. Hasilnya tergantung. Kadang 1, 5 ton. Kadang juga 2,5 ton,” tutur Antonius.
Sebagai petani, kata dia, biaya itu tentu sangatlah besar. Belum lagi, saat padi terserang hama. Di situ, petani harus kembali mengeluarkan biaya untuk membeli pestisida kimia.
Namun, di tahun 2023, dirinya memutuskan untuk beralih dari kimia dengan menggunakan pupuk organik yakni Jadam, Eco Enzym dan Bioska. Pupuk itu diolah sendiri. Tidak membutuhkan biaya besar dan waktu yang terlalu lama.
Dengan menggunakan pupuk organik dirinya tidak lagi mengeluarkan biaya Rp 1.500.000 seperti selama menggunakan pupuk kimia.
“Tahun ini hanya saya hanya keluarkan uang Rp 50 ribu untuk buat pupuk organik. Jauhnya beda sekali. Tidak bisa dibanding,” ujarnya.
Saat ini juga, kata dia, hama padi bisa dikendalikan dengan obat organik yang dibuat sendiri.
“Selama pakai pupuk organik ini satu saja penyakit, padinya merah saat umur 1 bulan lebih. Itu bisa diatasi obat organik, bahan-bahannya juga ada di lingkungan sekitar,” ujarnya.Dirinya mengaku bersyukur karena Keuskupan Ruteng dan PT Ekosis mendampingi para petani di dusun itu menggunakan pupukorganik, Jadam, Eco Enzym, dan Bioska untuk menggantikan pupuk kimia.
“Dari sisi pembiayaan, ini sangat hemat. Hasilnya juga sangat beda. Musim ini saya bisa panen lebih dari 2 ton. Beda jauh saat menggunakan pupuk kimia,” katanya.
“Tahun ini saya tidak perlu lagi ijon uang di tengkulak untuk beli pupuk dan obat. Pupuk organik ini menjadikan saya petani merdeka,” ujarnya.Ia menambahkan, selain hasilnya naik dan biaya sedikit, pupukorganik juga sangat ramah lingkungan.
“Misi kita paling utama adalah kembali ke alam. Selama lahan pertanian sawah rusak karena penggunaan bahan kimia berlebihan. Hasil pertanian tidak produktif karena tanaman seperti mudah terserang hama. Sekarang kami manfaatkan pupuk organik untuk menyelamatkan alam,” pungkas dia.
Severinus Akuilaratu (49), pendamping kelompok tani Dusun Pong Nompomg, mengaku, dirinya menganut organik sejak tahun 2004 silam. Sedari itu, semua tanaman di kebun dan sekitar rumahnya dipupuk menggunakan bahan-bahan organik yang diolah sendiri.
Ia mengenal dan belajar membuat pupuk organik Eco Enzym, Jadam, dan Biosaka, sejak tahun 2021, karena bergabung di Yayasan Nusantara.
“Dari situ saya praktik pada tanaman di kebun sendiri. Saya juga aktif mengkampanyekan pupuk organik ini ke masyarakat di Lembor,” kata Saverinus Selasa pagi.
Ia menjelaskan, pupuk organik Jadam, Eco Enzym dan Bioska itu awalnya masuk ke persawahan Dusun Nong sini melalui PSE Keuskupan Ruteng. PSE Keuskupan Ruteng mengundang PT ekosis melalui Pastor Paroki Rangga.
“Mereka mengangkat saya sebagai pendamping. Saya terima karena sudah di lapangan. Sebelumnya sudah mengajak para petani mau harus lihat hasil dulu baru mencoba. Tetapi saya tidak pernah menyerah. Akhirnya tahun 2023 masuk di sini,” ujarnya.
Meski dirinya sebagai guru, ia tetap menerima tugas pelayanan itu. Misi utamanya dia adalah menyelamatkan lingkungan dan para petani dari belenggu ijon para tengkulak.
“Saya merasa berdosa ketika memusnahkan ciptaan Tuhan buat manusia. Alam kita telah mengalami kemerosotan alam karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan,” katanya.Alhasil, di tahun 2023, para petani di Dusun Pong Nombong tak lagi mengeluarkan biaya banyak untuk membeli pupuk dan obat kimia. Bahkan, testimoni dari salah seorang petani di dusun itu, ia hanya mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk menghasilkan pupukorganik.
“Kebershasilan utama kami adalah mengembalikan tanah ke kondisi ideal. Hasil pengukuran tanah dari pegawai dinas pertanian, ph tanah di lahan yang pakai pupuk organik kembali ideal yakni 6. Ini keberhasilan besar kami, tanah kembali seperti dulu lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, Bupati Manggarai Barat, hotel dan restoran di Labuan Bajo masih memakai beras dari luar Kabupaten Manggarai Barat untuk menjamu para tamu atau wisatawan yang berkunjung ke Daerah Pariwisata Super Prioritas itu.
“Selama ini kita terbelenggu dengan masalah rantai pasok. Fakta kemarin, kita menjamu para tamu dengan beras dari luar. Karena Manggarai Barat belum menyiapkan beras yang berkualitas,” kata Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, Senin (29/5/2023).
Karena itu, lanjut dia, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat sangat berterima kasih kepada gereja dan pelaku usaha yang sudah berusaha menyelesaikan persoalan yang dihadapi petani di daerah itu.
“Dengan adanya padi organik, yang serba menggunakan pupuk organik, ini pertanda sebentar lagi petani di Manggarai Barat merdeka dan berdaulat. Petani yang berdaulat itu tekun dengan profesinya,” kata Edistasius.
Dengan adanya padi organik, kata dia, Manggarai Barat mendeklarasikan bahwa daerah itu menyiapkan padi yang berkualitas.
“Ke depan kita tidak perlu lagi datangkan beras untuk masuk ke Labuan Bajo,” ujarnya.
Ia menyebut, dalam berbagai kesempatan, dirinya banyak berdiskusi dengan General Manajer hotel di Labuan Bajo, terkait beras yang didatangkan dari luar daerah.
Menurut mereka, kata dia, tantangan utama adalah stok beras lokal yang masih kurang. Karena itu, tantangan itu adalah menjadi tanggung jawab semua pihak. Tidak hanya petani, tetapi juga gereja dan pelaku usaha.
“Kalau hanya satu dua karung. Tidak bisa. Kita harus siapkan banyak. Tidak bisa hari ini ada, esok tidak ada. Di hotel itu butuh banyak dan kontinyu,” tegasnya.
Ia mengapresiasi Keuskupan Ruteng dan PT Ekosis yang menjadi garda terdepan untuk menyukseskan padi organik dan petani berdaulat di Manggarai Barat.”Bagusnya padi organik, selain menghasilkan beras yang berkualitas, ini sangat baik untuk lingkungan. Mari kita kembali ke alam,” imbuhnya.